Bangga Menjadi Wong Ndeso

Wong Ndeso, julukan itu kini bukan menjadi sesuatu yang memalukan lagi. Sudah saatnya kita bangga menjadi Wong Ndeso. Bagaimana tidak, semenjak disahkan dan diimplementasikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, muncul peluang bagi organisasi masyarakat sipil dan pemerintah untuk mewujudkan desa sebagai pelaku utama pembangunan di negeri ini.

Kedaulatan desa yang dulunya hanya mimpi, kini perlahan namun pasti akan menjadi kenyataan. Desa berdikari, itulah yang menjadi cita-cita bagi 400an peserta Jambore Desa yang diselenggarakan di Desa Wulungsari, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo, 14-16 Desember 2015. Peserta yang hadir tidak hanya berasal dari desa-desa di pulau Jawa saja, tetapi beberapa desa di pulau Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Mereka menjadi satu dalam ikatan untuk kemajuan desanya masing-masing.

Pengembangan potensi desa menjadi kunci untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga desa. Sebagai contoh, Desa Wulungsari, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo memiliki potensi 7 sumber mata air. Pemerintah dan masyarakat desa memiliki kepentingan di sana, yaitu mengurangi ketergantungan air dari Perusahan Daerah Air Minum (PDAM). Dalam pernyataannya, Kepala Desa Wulungsari Agus Martono menyampaikan program desa tahun 2016 yang utama adalah memanfaatkan 7 sumber mata air untuk kebutuhan warga desa. “Jadi, air dari sumber mata air itu akan dialirkan ke tiap-tiap rumah warga sehingga kebutuhan warga untuk air bersih bisa terpenuhi,” terang Agus. Ia menambahkan bahwa perencanaan ini melibatkan partisipasi dari warga desa yang menggunakan prinsip-prinsip keterbukaan.

Lain desa lain pula potensi dan permasalahanya. Desa Kuncen, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten misalnya, saat ini Desa Kuncen sedang gencar-gencarnya melakukan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Pemerintah dan masyarakat desa sepakat untuk membentuk KP3A (Komunitas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Desa ini sangat berpihak kepada perempuan dan anak, terbukti ada alokasi anggaran untuk program dan kegiatan yang berkaitan dengan perempuan dan anak di dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDES).

Membangun desa memang bukan hal yang mudah, butuh sinergisitas yang utuh antara pemerintah desa dengan rakyatnya. Ketika rakyat berteriak-teriak tentang kebutuhannya, tetapi pemerintahan desanya tidak merespon, maka tidak akan ketemu yang namanya kesepakatan. Demikian juga ketika seorang kepala desa mempunyai ide atau gagasan yang brilian tentang pembangunan desanya, tetapi rakyatnya tidak mendukung maka itu akan menjadi sesuatu yang sia-sia saja.

Maka penting untuk memahamkan bahwa bicara UU Desa bukan bicara uang puluhan hingga ratusan juta rupiah saja, tetapi mari kita bicara yang namanya membangun partisipasi bersama. Bagaimana merangkul semua elemen masyarakat yang ada, kaya-miskin, laki-laki-perempuan, tua-muda serta penting pula untuk menggandeng kelompok yang selama sering dipinggirkan, yaitu difabel. Semua mempunyai hak yang sama untuk bersuara lantang.

Jambore Desa menjadi semacam tempat untuk saling menguatkan dan memberikan masukan, sekaligus tempat belajar yang tanpa batas bagi semua desa yang hadir. Kita bisa melihat desa-desa dari segala macam sisi, potensi dan permasalahannya. Memang tidak kemudian ingin menyeragamkan satu desa dengan desa yang lainnya. Pesannya adalah kita bisa mengambil inspirasi yang baik, misalnya tentang tata kelola keuangan desa, pengembangan desa, desa yang ramah perempuan dan anak, dan sebagainya.

Lebih lanjut diharapkan muncul rekomendasi untuk perbaikan atau penguatan dalam implementasai UU Desa untuk semua pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemerintah desa dan organisasi masyarakat sipil di negeri yang kita cintai ini.

Henrico Fajar K.W – Divisi Pencegahan dan Penanganan Kasus Berbasis Masyarakat