Kisah Perempuan Penyintas Kanker Payudara

Sabtu, 14/8 yang lalu di sela-sela Pertemuan Kader Kesehatan Desa Pundungan, saya berkesempatan bertemu dengan seorang perempuan penyintas kanker payudara. Ia  bernama Heruwati, 50 tahun warga Desa Pundungan, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten.

Dia menuturkan awal mulanya merasakan ada benjolan pada payudaranya, namun benjolan itu tidak terasa sakit. Melihat hal itu dia memeriksakan diri ke dokter spesialis bedah di RSUP. Dr. Soeradji Tirtonegoro, Klaten. Dari hasil pemeriksaan, dokter menyarankan harus dilakukan operasi untuk mengangkat sel-sel kanker yang ada di tubuhnya.

“Terdapat 2 benjolan di payudara saya, ini membutuhkan penelitian lebih lanjut. Akhirnya saya dirujuk ke RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta,” ungkap Heruwati. Dia menambahkan Setelah dilakukan penelitian ternyata 2 benjolan di payudara saling berhubungan.

Untuk selanjutnya dia menjalani Kemoterapi selama 6 kali, selain itu dia juga menjalani Radioterapi atau pengobatan menggunakan sinar-X berenergi tinggi seperti proton atau partikel lainnya untuk membunuh sel kanker.Terapi yang dijalaninya dilakukan setiap 3 minggu sekali.

Setelah pemeriksaan Radiologi selesai, dia dinyatakan negatif. Tetapi ternyata tidak berakhir di sini, Heruwati harus menjalani evaluasi selama 5 tahun. “Saya dikembalikan ke RSUP. Dr. Soeradji Tirtonegoro, Klaten di tangani kembali di Poli Bedah Onkologi untuk dievaluasi bersama dengan dr. Raden Aryo Nindito, Sp.B.Onk sampai sekarang. Setiap seminggu sekali diberi obat dan setiap 6 bulan sekali dilakukan evaluasi”, terang Heruwati.

Heruwati dinyatakan positif kanker payudara sejak tahun 2018, saat itu dia berusia 47 tahun. Menurutnya dari awal sampai saat ini tidak merasakan sakit sama sekali, pun saat menjalani operasi. Setiap perempuan memilki perasaan yang berbeda-beda, ada yang merasakan sakit atau tidak.

Menurut ibu 2 orang anak ini, banyak perempuan yang abai dan menganggap remeh penyakit ini. Misalnya mengetahui adanya benjolan di payudaranya, tidak merasa sakit tetapi tidak bersedia memeriksakannya. Padahal ini bisa menjalar ke mana-mana. Ini yang membuat dia prihatin.

Seorang tetangga yang mengalami kanker payudara, selalu saya beri motivasi agar berani memeriksakan diri. Saya menyarankan dia meminta rujukan ke Puskesmas. Perempuan itu menjalani Kemoterapi sebanyak lima kali dan tanggung BPJS Kesehatan. “Sekarang dia gemuk, kelihatan seger dan merasa sehat padahal dulu kurus,” ungkapnya senang.

Saat terapi dan pengobatan harus mengikuti apapun yang disarankan Dokter. Dia berharap banyak perempuan yang semakin sadar tentang kesehatannya, termasuk mendeteksi secara dini apapun penyakit yang ada dalam tubuhnya.

Sebagai informasi seperti dikutip dari https://databoks.katadata.co.id/, Data Global Cancer Observatory 2018 dari World Health Organization (WHO) menunjukkan kasus kanker yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah kanker payudara, yakni 58.256 kasus atau 16,7% dari total 348.809 kasus kanker. Kanker serviks (leher rahim) merupakan jenis kanker kedua yang paling banyak terjadi di Indonesia sebanyak 32.469 kasus atau 9,3% dari total kasus. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan, angka kanker payudara di Indonesia mencapai 42,1 orang per 100 ribu penduduk. Rata-rata kematian akibat kanker ini mencapai 17 orang per 100 ribu penduduk. Sementara itu, angka kanker serviks di Indonesia mencapai 23,4 orang per 100 ribu penduduk. Rata-rata kematian akibat kanker serviks mencapai 13,9 orang per 100 ribu penduduk. Upaya pencegahan dan pengendalian kedua jenis kanker tersebut dilakukan dengan cara deteksi dini pada perempuan usia 30-50 tahun. Metode yang digunakan adalah Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS) dan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) untuk kanker serviks. Henrico Fajar/Divisi Kesmas SPEK-HAM.