PEREMPUAN DIFABEL DAN PERKOSAAN
- 17
- May
Ketika mendengar kata “perkosaan”, apa yang terlintas di benak anda? Pemaksaan, ancaman, intimidasi, perampasan dan kehilangan keperawanan. Mungkin hal-hal seperti di atas sempat anda pikirkan.
Kata ‘perkosaan’ memiliki beragam definisi. Oleh PBB, perkosaan didefinisikan sebagai hubungan seksual tanpa persetujuan yang sah. Sementara itu, WHO, pada tahun 2002, mendefinisikannya sebagai dipaksa secara fisik atau dipaksa penetrasi bahkan sedikit bagian dari vulva atau anus, dengan menggunakan penis, atau bagian tubuh yang lain. Sedangkan beberapa Negara seperti Jerman, misalnya, mendefinisikan perkosaan tidak memerlukan penetrasi. Pada tahun 1998 Pengadilan Internasional untuk Rwanda mendefinisikannya sebagai “invasi fisik bersifat seksual yang dilakukan pada seseorang dalam situasi memaksa” (Jurnal Perempuan Volume 71, Perkosaan dan Kekuasaan, 2011 : 120).
Dari definisi yang beragam itu dapat ditarik satu kesimpulan bahwa perkosaan bukanlah hal yang menyenangkan. Ia beraroma pemaksaan dan ngeri yang tak dapat disembuhkan dalam waktu yang sebentar. Korban perkosaan bisa mengalami trauma berkepanjangan.
Dari dua jenis kelamin di dunia ini (laki-laki dan perempuan), perempuanlah yang sering kali mengalami perkosaan. Menjadi korban pemerkosaan. Hal ini tidak terlepas dari stigma yang dilekatkan pada perempuan; bahwa perempuan itu makhluk lemah, bahwa perempuan itu adalah properti dari makhluk berjenis kelamin laki-laki.
Stigma itu demikian melekat sehingga menjadi alasan pembenar bagi laki-laki pelaku perkosaan (atau bukan) ; rok mini yang mengundang nafsu berahi, lekuk pinggang yang menimbulkan syahwat.
Lalu, apa kaitan antara perkosaan dan difabel?
“Difabel” adalah akronim dari different abilities people atau orang dengan kemampuan yang berbeda. Dengan istilah ini, masyarakat diajak untuk merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan menjadi pemahaman terhadap difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula (Lifesupportalchemist’sBlog : Difabel dan Pendidikan).
Sayangnya, banyak pihak-pihak yang mengambil keuntungan pribadi maupun kelompok dari keadaan penyandang disabilitas. Mereka memanfaatkan keadaan penyandang difabel yang berbeda itu sebagai tempat pelampiasan nafsu, memperkosa misalnya. Pemerkosa memilih korban yang lemah, dan “lemah” sangat lekat dengan penyandang disabilitas. Trauma yang dialami oleh perempuan difabel akibat perkosaan bisa saja jauh lebih sulit disembuhkan.
Begitulah yang terjadi pada korban, sebut saja Rina (22). Ia adalah penyandang difabel tuna rungu-wicara dan retardasi intelektual. Meski telah berusia 22 tahun, namun perkembangan psikologi dan intelektualnya berhenti pada usia 9 tahun. Usia memang diatas batas anak tapi psikologinya jelas-jelas masih anak. Rina bersekolah di SLB di kotanya. Di sekolah inilah ia mengalami perkosaan yang dilakukan oleh gurunya sendiri, sebut saja Pak Heru (38), sebanyak enam kali.
Perkosaan itu petama kali dilakukan pada hari Senin, 16 Juli 2012 sekitar pukul 13.00 WIB. Ketika pelajaran usai dan para siswa diperbolehkan pulang, Rina tidak diperbolehkan pulang. Belum cukup sampai di situ, pelaku mengulangi perkosaan itu hingga enam kali dan tentu saja mengancam penyintas untuk tidak memberitahu siapapun tentang perbuatan kejinya.
Tak tahan dengan penderitaan yang dialaminya, dengan caranya Rina memberanikan diri mengadukan perbuatan gurunya itu kepada salah satu guru lain yang mengajar di sekolah tempatnya belajar itu. Momen yang pas, sekolah rame karena adanya penyebaran video porno di sekolahnya. Tak hanya pelaku perkosaan, pelaku dengan sengaja merusak anak didiknya dengan mempertontonkan video porno kepada anak-anak yang menyandang disabilitas bahkan kepada teman sesama gurunya.
Kasus ini membutuhkan dukungan banyak pihak. Jaringan penanganan kasus di Solo Raya (ditambah juga Yojakarta) ikut terlibat didalamnya. Korban didampingi keluarga melaporkan pelaku ke pihak yang berwajib di kotanya. Dengan dibantu oleh penerjemah yang merupakan gurunya, Rina diperiksa sebagai korban oleh unit PPA. Proses berjalan lancar hingga BAP. Tapi keadilan bagi korban tidak serta merta didapatkan. Kepolisian belum juga melakukan penangkapan terhadap Pak Heru.
Bukti yang kuat tak membuat kepolisian bertidak tegas. Kepolisian meragukan apakah ini kasus perkosaan ataukah suka sama suka. Polisi lupa bahwa korban menderita retardasi intelektual yang artinya secara mental korban sama dengan anak-anak. Untuk kasus anak, istilah suka-sama suka itu tidak berlaku.. Alasannya, peristiwa (perkosaan) itu sudah terjadi enam kali, kenapa korban baru lapor? Agaknya pihak kepolisian belum memahami bahwa penyandang disabilitas memiliki kebutuhan berbeda dengan non difabel. Bayangkanlah, bagaimana seorang anak perempuan penyandang tuna rungu-wicara dan retardasi intelektual (dulu dikenal retardasi mental atau terbelakang mental) mengalami kekerasan seksual pada level paling atas (perkosaan) berkali-kali. Tentu saja dia tidak punya cukup keberanian untuk menceritakan apa yang dialaminya kepada orang terdekatnya, Ibunya misalnya. Kalaupun punya keberanian, dia mungkin mengalami kebingungan bagaimana untuk menyampaikan ceritanya tersebut.
Pembuktian keberadaan korban yang memang difabel secara psikologis tidak muncul dari inisiatif penegak hukum. Akhirnya teman-teman pendamping berinisiatif untuk membawa Rina ke RSJD setempat untuk memeriksa kondisi psikologi dan perkembangan intelektualnya. Dari pemeriksaan itulah didapat bukti hitam di atas putih bahwa perkembangan intelektual Rina berhenti pada usia sembilan tahun. Bukti itu membuat polisi harus melakukan penangkapan terhadap pelaku tidak bisa berkata tidak lagi.
Kisah ini masih berlanjut. Tulisan ini menandai sidang atas kasus sini telah sampai pada sidang yang ke 9 yaitu keterangan dari saksi korban; orangtua korban. Tekanan masih didapati oleh keluarga korban. (spekham.org/Linggar Rimbawati)