[Rubrik Asumsi #1] Konstruksi Perempuan dalam Sistem Masyarakat: Hakikat Kesetaraan Peran

Di era ini pemahaman dan pengetahuan akan potensi gender kian dinamis serta tidak terbatas. Hal ini disebabkan oleh pergeseran pola pikir dan pergeseran peran gender, di mana perempuan, yang awal mulanya dianggap sebagai kaum subordinat dan hanya berkecimpung pada ranah domestik, mulai berlomba-lomba untuk mencari penghidupan yang lebih baik dengan turut serta untuk memenangkan tugas sebagai “bread winner”. Banyak tanggapan pro kontra mengenai pergeseran peran gender ini, mengingat reposisi pemikiran dari wanita yang hanya berkecimpung di ranah domestik menjadi wanita yang memiliki peran ganda belum terlalu masif dikenal. Di sisi positif, penugasan ganda kepada perempuan ini menjadikan mereka terhindar dari pola pikir patriarki yang kian terkikis. Bentuk diskriminasi ini tentu saja menjadi hal yang membekas pada pola pikir perempuan, di mana mereka terbiasa untuk diperlakukan secara berbeda dan menganggap ketidakadilan ini merupakan hal yang harus mereka maklumi. Selama ini masyarakat hidup dalam suatu cara dan budaya yang sudah mengakar, bahkan dalam lingkungan keluarga sekalipun. Salah satunya mengenai diskriminasi gender yang menjadikan laki-laki memiliki peran yang dominan, sementara perempuan menempati posisi subordinat di bawahnya (Ashall, 2004: 22).

Seiring berjalannya waktu, ketidakadilan ini kian mengalami pertentangan ketika perempuan (dengan segala hambatan yang diciptakan oleh masyarakat) mampu untuk memenangkan posisi keduanya, yakni dalam ranah domestik dan dalam berkarier. Dari sini, terbentuklah efek domino yang berupa resistensi perempuan akan lingkungan yang patriarkis. Salah satu tokoh yang membahas mengenai permasalahan ini adalah Pierre Bourdieu dengan teori analisis kelas dan feminisme. Teorinya menentang asumsi bahwa ketidaksetaraan kelas dianggap berasal dari kesalahan individu itu sendiri (Bourdieu & Passeron, 1998). Sistem masyarakat adalah faktor penting, tidak terkecuali dalam mengatur kesetaraan secara struktural. Pada dasarnya Bourdieu sendiri meyakini bahwa ketidaksetaraan ini jauh lebih kompleks dibandingkan dengan faktor alamiah individu (Bourdieu, 2001: 34). Terdapat pengaruh kebudayaan dan kebiasaan yang memasyarakat, dekade demi dekade, generasi, demi generasi, sehingga awal dari pembagian peran diskriminatif ini sangat sulit untuk ditemui titik hulunya. Apakah faktor ini merupakan hal yang bersifat alamiah (nature) sehingga harus diterima begitu saja? ataukah konstruksi masyarakat ini merupakan sesuatu yang bisa diubah?

[Rubrik Asumsi #2] Konstruksi Perempuan dalam Sistem Masyarakat: Kolaborasi atau Supremasi?

Seiring dengan perkembangan zaman, terbentuklah gerakan yang terpantik secara fundamental mengenai kesadaran akan potensi diri yang dimiliki oleh perempuan. Dari masa ke masa, gerakan kesetaraan sedikit menghapus stigma yang patriarkis terhadap perempuan dan mulai mereposisi kebiasaan masyarakat mengenai gender tersebut. Namun, hal ini tentu saja masih menjadi tantangan nyata akibat ketimpangan kuasa.

Layaknya hal yang linear, relasi kuasa membuka kesempatan dalam terbentuknya eksploitasi, penindasan, dan represi. Hal ini pula yang masih terjadi pada perempuan dewasa ini. Oleh karena itu, wujud penolakan (resistensi) yang dilakukan oleh perempuan tidak hanya muncul sebagai salah satu fenomena yang terbentuk secara instan. Namun, apabila tuntutan kesetaraan ini tidak dikelola dengan baik, dapat berpotensi menyebabkan terjadinya gesekan di masyarakat.

Sebagai contoh permasalahan mengenai banyaknya gerakan feminisme ekstrim radikal di Korea dan rendahnya kelahiran anak di negara tersebut. Hal ini disebabkan oleh kesadaran perempuan Korea akan kondisi misoginis dan diskriminatif yang dialami mereka secara turun temurun. Kondisi status quo yang hanya menguntungkan satu gender kini menjadi bumerang yang berbalik 180 derajat. Di era sekarang perempuan korea memilih untuk tidak melakukan beberapa hal sebagai bentuk protes. Di samping itu juga, terdapat banyak gerakan feminisme ekstrim radikal yang menjurus pada perbuatan kriminalitas serta menunjukkan ujaran kebencian pada laki-laki, seperti yang berada pada situs Womad, Megalian, dan Ladism (Pasinringi, 2021).

Oleh karena itu, supremasi salah satu gender yang tidak terkontrol selalu memiliki dampak negatif dan memungkinkan terbentuknya tekanan pada pihak yang lebih lemah (subordinat). Dalam hal ini, bukan tidak mungkin bahwa laki-laki akan merasakan efek tersebut. Sebagai contoh kasus kekerasan yang melibatkan Amber Heard dan Johnny Depp, di mana masyarakat cenderung untuk menaruh simpati kepada perempuan, Amber Heard, yang dianggap lebih lemah sehingga tidak mungkin melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Tidak berbeda dengan kasus pelecehan, ketika permasalahan kekerasan hanya dianggap sebagai permasalahan yang terkait seks dan gender, bukan tidak mungkin kedepannya akan banyak korban dari kedua sisi yang sulit untuk mendapatkan keadilannya akibat fragmentasi di masyarakat.