SIARAN PERS SPEK-HAM, TALITAKUM, JPPAS ATAS DISAHKANNYA PERPPU NO. 1 TAHUN 2016

SIARAN PERS SPEK-HAM, TALITAKUM, JPPAS
ATAS DISAHKANNYA PERPPU NO. 1 TAHUN 2016

“PENDEKATAN PENGHUKUMAN, TAK AKAN SELESAIKAN KEJAHATAN SEKSUAL”

Tanggal  25  Mei  2016  kemarin,  Presiden  telah  menandatangani  Peraturan  Pemerintah  Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2016. Perpu tersebut merupakan Perubahan Kedua Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam pidatonya, Presiden Jokowi berharap Perppu tersebut dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku dan memberikan ruang pada hakim untuk memutuskan hukuman kepada pelaku seberat-beratnya. Apakah harapan presiden akan terjawab?

SPEK-HAM, Talitakum, dan JPPAS sangat menyayangkan sikap yang diambil pemerintah untuk merespon kejahatan seksual melalui penerbitan Perppu yang hanya berorientasi pada pendekatan penghukuman. Penerbitan Perppu ini mencerminkan kebijakan reaktif, tidak reflektif, dan tidak solutif.   Perppu ini menunjukkan sikap reaktif akan penanganan yg luar biasa terhadap kejahatan seksual paska ledakan berita pada media massa dan media sosial. Padahal kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak telah terjadi jauh sebelumnya di seluruh Indonesia. Bahkan Komnas Perempuan telah menyampaikan data bahwa setiap 2 jam, 3 perempuan menjadi korban kejahatan seksual. Dari data SPEK-HAM, juga memperlihatkan bahwa setiap tahun kasus kekerasan seksual cenderung naik (terkuak), dan menempati ranking tertinggi kedua setelah KDRT. Pada tahun 2013-2015, dari 99 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani langsung oleh SPEK-HAM, 28 kasus (39,5%) diantaranya adalah kasus kekerasan seksual.

Perpu ini hanya berorientasi pada kasus kejahatan seksual pada anak. Di sisi lain, dalam realitanya kasus kejahatan seksual banyak menimpa pula pada perempuan di atas 18 tahun (remaja, dewasa, bahkan lansia). Berdasarkan pengalaman kami, kasus kekerasan seksual pada dewasa, sangat sulit diproses secara hokum karena dianggap tidak cukup alat bukti dan korban dianggap suka sama suka. Data dari jaringan nasional Forum Pengada Layanan (FPL) yang dikelola oleh Komnas Perempuan di 5 wilayah (Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Aceh, dan Sulawesi) menemukan fakta bahwa 80% korban kekerasan seksual memilih jalur hukum. Dari total kasus yang memilih jalur hokum tersebut, 50% diantaranya harus menerima kenyataan bermediasi karena korban dinikahkan dengan pelaku, dianggap tidak cukup bukti, ataupun kelelahan dengan proses hukum. 40% kasus diantaranya terhenti di kepolisian. Jadi, hanya 10% kasus kekerasan seksual yang dapat di proses hingga persidangan.

Dalam proses hukumpun, selama ini cenderung meringankan hukuman bagi pelaku. Tidak jarang pelaku dibebaskan karenadianggap tdk ada bukti dan saksi, kalaupun diproses hingga persidangan, hanya divonis hukuman percobaan 3 bulan. Sebenarnya, penegakan hukum yang lemah atas kasus kekerasan seksuallah yang tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual. Berapa kasus kekerasan seksual yang dihukum maksimal 15 tahun dengan denda 5 Miliar? Jika dikaitkan dengan Perppu, bahwa pemberatan hukuman dilakukan setelah menjalani hukuman pokok, sementara sejauh ini tidak banyak kasus kekerasan seksual yang sampai ke proses peradilan dan mendapatkan sanksi hukum maksimal. SPEK-HAM melihat bahwa perppu ini mencerminkan sikap yang  tidak reflektif,  tidak mempertimbangkan lemahnya penegakan hukum yang ada di Indonesia.

Kejahatan  seksual  tidak  hanya  persoalan  penghukuman  penjeraan  pada  pelaku  semata.  Namun persoalan pola pikir yang menyebabkan perempuan dan anak rentan menjadi korban kekerasan, aspek pencegahan, pelayanan yang optimal terhadap korban, dan pemulihan yang rehabilitative. Aspek yang dapat menjerakan pelaku kekerasan  seksual saat ini, bukanlah hukuman yg bisa menakut-nakuti, tapi penegakan hukum yg serius, bebas mafia, dan memastikan penerapan sanksi maksimal yg telah ada di sejumlah peraturan perundang-undangan (KUHP, UU P-KDRT, UU Perlindungan Anak, dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang). Penanganan yg luar biasa terhadap extra ordinary crime sebenarnya bisa berlangsung dalam waktu cepat dengan mengoptimalkan penerapan hukum yg sudah ada (termasukhukuman seumur hidup) kepada pelaku, dan memastikan seluruh kebijakan yg telah ada untuk pemulihan   korban   dapat   dipastikan   berjalan   dalam   waktu   cepat.   Termasuk   dalam   hal   ini menghilangkan hambatan-hambatan yang selama ini dialami korban dalam mengakses keadilan dan pemulihan baik secara psikologis, medis, spriritual, sosial, dan ekonomi.

Surakarta, 27 Mei 2016

Hormat kami,

Endang Listiani                                        Elizabeth Yulianti                                         Renny Kristianty
   SPEK-HAM                                  Jaringan Peduli Perempuan                                       Talitakum                                                                                                        dan Anak Surakarta (JPPAS)                     (Study Seksualitas Perempuan)

NB: untuk informasi lebih lanjut, silahkan kontak:

  1. Endang Listiani/Eliest – 08156720819
  2. Elizabeth Yulianti – 081805841001
  3. Renny Kristianty – 085647008805