Populasi Kunci dalam Belenggu HIV

HIV sudah menjadi anggapan umum sebagai penyakit mematikan, terlebih bagi individu yang aktif secara seksual. Human immunodeficiency virus (HIV) menjadi salah satu masalah yang menimpa banyak negara di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Pada catatan UNAIDS pada tahun 2020, sejumlah 38 juta penduduk dunia terindikasi mengidap penyakit HIV, dengan peningkatan secara stagnan setiap tahunnya sejumlah 1,7 juta orang (Mengual et al, 2022). Secara umum masyarakat sudah menyadari dengan cukup mendalam bahwa perilaku berisiko menjadi gerbang pembuka terjangkitnya individu pada penyakit HIV. Namun, penyelesaian permasalahan ini menemui problematika yang pelik ketika populasi kunci menjadi kelompok yang termarjinalisasi di masyarakat. Kelompok populasi kunci terdiri atas wanita pekerja seks (WPS), waria, lelaki seks dengan lelaki (LSL), dan pengguna napza suntik (penasun).

Pada dasarnya, dalam membahas mengenai problematika isu HIV, terdapat konteks relasi kuasa yang tidak dapat dipisahkan. Ketimpangan yang terjadi terkadang membuat kelompok populasi kunci ini tidak memiliki pilihan, selain melakukan aktivitas yang berisiko. Sebagai contoh, seorang pekerja seks komersial yang tidak memiliki kuasa untuk melakukan praktik seksual yang aman (memakai kondom), lebih berpotensi terjangkit virus melalui hubungan yang dilakukan secara berisiko. Maka dari itu, memahami tantangan tidak biasa yang dihadapi populasi kunci dan hubungannya dengan penyakit HIV sangat penting untuk mengupayakan pencegahan, pengawasan, dan memberi dukungan secara efektif. Adanya disparitas sosial dalam membandingkan sebaran HIV pada kelompok masyarakat tertentu dapat ditilik dari berbagai faktor, yakni biologis, sosial-budaya, dan struktural. Faktor-faktor sosial-budaya seperti ketidaksetaraan sosial maupun ekonomi, kekerasan, dan kekuasaan pengambilan keputusan yang terbatas dalam aktivitas seksual menjadi alasan kerentanan populasi kunci terhadap HIV. Selain itu, faktor-faktor struktural seperti keterbatasan akses pada fasilitas kesehatan, pendidikan, dan sumber daya ekonomi memperburuk risiko penularan HIV di antara mereka.

Tidak terbatas pada gender tertentu, upaya pencegahan dan pengobatan HIV dapat berlangsung apabila terdapat akses yang inklusif dan edukasi merata bagi populasi kunci. Maka dari itu, mengupayakan kesehatan seksual pada populasi kunci (dalam konteks mengurangi potensi transmisi HIV/AIDS) dapat dilakukan dengan cara:

  1. Implementasi program pendidikan seksual yang komprehensif dan adil: Dengan membekali populasi kunci dengan pengetahuan, diharapkan mereka dapat membuat keputusan yang tepat, menciptakan hubungan yang sehat, serta melakukan upaya preventif terhadap penyakit seksual menular secara mandiri.
  2. Integrasi layanan: Menyediakan layanan terpadu yang menangani kebutuhan termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, tes HIV, pengobatan, dan dukungan psikososial, sangat penting untuk diprioritaskan. Dengan kolaborasi fasilitas layanan masyarakat melalui pengadaan VCT, pengobatan, maupun konseling, populasi kunci dapat mengakses perawatan secara lebih menyeluruh dan mengurangi potensi penyebaran HIV yang tidak disadari.
  3. Mengatasi kekerasan dan stigma buruk berbasis gender: Perlu dilakukan upaya untuk mencegah dan mengatasi kekerasan berbasis gender, memberikan dukungan kepada korban dan menciptakan lingkungan yang aman bagi penyintas. Melawan stigma dan diskriminasi pada penyintas HIV juga penting dalam memberdayakan mereka untuk lebih proaktif dalam mengakses tes HIV, pengobatan, dan dukungan tanpa takut justifikasi atau stigma sosial.

Sumber:

UNAIDS. (2020). Global HIV & AIDS Statistics – 2020 fact sheet. Dapat diakses melalui: https://www.unaids.org/en/resources/fact-sheet

Morell-Mengual, V., Dolores Gil-Llario, M., Ruiz-Palomino, E., Castro-Calvo, J., & Ballester-Arnal, R. (2022). Factors Associated with Condom Use in Vaginal Intercourse Among Spanish Heterosexual and Bisexual M