Hapuskan KDRT Melalui Peran Komunitas Agama
- 23
- Dec
Pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ternyata tak mengurangi kasus KDRT secara signifikan. Diperlukan pendekatan baru yakni kultural melalui tokoh dan komunitas agama untuk membawa perspektif baru dalam tafsir keberagamaan menanggapi persoalan ini.
Demikian dikatakan Farha Ciciek dari Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan Rahima dalam acara “Refleksi 4 Tahun Upaya Penghapusan KDRT” yang diadakan LSM Mitra Perempuan di Wisma PKBI, Selasa (23/12).
“Sejak tahun 2004, gerakan Islam untuk menghapuskan KDRT memang mulai menggeliat dengan didirikannya beberapa gerakan perempuan seperti pesantren perempuan Puan Amalhayati. Gerakan Muhammadiyah juga melakukan pembaruan untuk sosialisasi isu KDRT ini,” tutur Farha.
Diakuinya, peran tokoh agama masih minim bahkan tak jarang korban KDRT yang mengadu ke tokoh agama dilarang meneruskan aduan ke LSM atau kepolisian. Alasannya beragam mulai dari tabu membuka aib keluarga hingga dasar hukum agama dan tak jarang diberikan ayat-ayat bahwa membeberkan persoalan keluarga itu hukumnya neraka.
“Tokoh agama tak jarang melakukan resistensi terkait sosialisasi isu KDRT dengan melarang jemaahnya membaca buku-buku tentang hal ini dan melakukan pengajian tandingan dengan dasar hukum yang sepertinya meyakinkan. Kami berusaha merangkul kelompok ini untuk mau bergabung memerangi persoalan sosial ini, tapi resistensinya masih tinggi,” jelas Farha.
Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua Komnas Perempuan Pdt. Sylvana Apituley yang memiliki pandangan yang sama. “Di kalangan Kristen pun sama, para tokoh agama masih tak membolehkan kasus kekerasan dalam keluarga untuk diungkap dan cenderung menutup-nutupi karena menganggap itu persoalan privat,” jelas Sylvana.
Yang paling memprihatinkan selama ini, menurut Sylvana, keadilan legal formal berjalan, tetapi keadilan dari sisi kultural bagi korban KDRT justru jalan di tempat. “Kebanyakan kasus KDRT yang telah sukses proses hukumnya dan pelaku dijatuhi hukuman, dari sisi korban saat kembali ke komunitas dan kelaurga justru mengalami penolakan,” tandasnya.
Hal itu menunjukkan keadilan secara kultural bagi korban masih minim. “Peran tokoh agama dan komunitas di sekitarnya menjadi sangat dominan untuk melihat masalah KDRT ini sebagai hal yang seharusnya menjadi musuh bersama, tak lantas menutupinya dalam ruang privat yang justru akan semakin menyengsarakan si korban. Ini yang masih belum jalan dan diperlukan komitmen semua pihak,” tutur Sylvana.
Selain itu, dikatakan Sylvana, dalam hal paradigma diperlukan suatu tafsir baru pembaruan pemahaman teologi. “Kalau tafsir baru ini masih melambat maka akan terus melanggengkan perilaku kekerasan tersebut. Karena hal ini juga terkait dengan budaya patriarki yang masih kental dalam ajaran agama yang memang ada begitu banyak bias jender dalam ajaran agama-agama,” jelasnya.
Sumber: Kompas Cyber Media, Selasa 23 Desember 2009