Seuntai Kisah di Pengungsian Eks-Gafatar

Malam belum sempurna, kegaduhan dan suara orang bercakap-cakap semakin terdengar jelas dibalik ruangan keseketariatan posko penanganan pengungsi eks-Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara ) di Asrama haji Donohudan, Boyolali.

1.731 orang yang merupakan rombongan pengungsi gelombang pertama dan kedua, tinggal bersama untuk menunggu proses rehabilitasi dan pemulangan ke daerah asal masing-masing; Lampung, Gunung Kidul, Malang, Sukoharjo, Semarang dan wilayah-wilayah lainnya.

Tumpukan pakaian pantas pakai menjadi rebutan ibu-ibu yang saat itu sedang antri kamar mandi menjadi pemandangan yang memprihatinkan di pagi hari. Begitupun di sudut lain di posko keseketariatan, banyak ibu, bapak-bapak, dan remaja yang antri panjang untuk mendapatkan peralatan mandi seperti sabun, sampo, handuk dan lain-lain. “Wah tidak kebagian handuk, kata Ag, salah satu remaja berumur 16 tahun,  sambil berlari mengejar teman-temannya.

Kamar-kamar berisikan 10 s/d 12 orang dengan tumpukan barang-barang bawaan menjadi pemandangan setiap hari. Penghuni-penghuni kamar hilir mudik bergantian dengan berbagai aktifitasnya, ada yang mandi, makan, mecari baju, dan aktifitas lainya. Seperti malam Selasa, 27 Januari 2016, banyak pengungsi yang duduk-duduk di tangga menuju kamar.

Bapak AB (34 tahun) bersama istrinya An (28 tahun), serta putra kecilnya yang dipangku bernama Ad (3 tahun). Keluarga ini berasal dari Gunung Kidul. Sudah hampir 3 tahun mereka mengikuti kelompok Gafatar yang mereka ketahui dari teman kerjanya dulu di Jogja. Dalam kisahnya dia merasa tertekan pada awal-awal bergabung di kelompok ini, keluarga tidak mengetahui keberadaan mereka, dan jarang berkomunikasi dengan keluarganya.

Kegiatan yang diikuti lebih banyak pada kegiatan keagamaan, seperti mendengarkan ceramah dan visi misi Gerakan Fajar Nusantara ini. Kami juga sering diajak untuk melakukan petemuan atau deklarasi untuk anggota-anggota baru yang selesai direkrut (diajak, diceramahi dan didoktrin). Beberapa hal yang selalu disampaikan gerakan ini adalah bahwa anggota  Gafatar  tidak wajib sholat 5 waktu, tidak wajib puasa di Bulan Ramadhan, kalimat syahadat mereka berbeda dengan umat Islam, yang bukan kelompok mereka dianggap kafir, gerakan hampir mirip dengan NII KW9, gerakan ini juga membangun perspektif dikalangan mahasisw ,  caranya dengan berbagai kegiatan yang berkedok  aksi sosial agar eksistensi mereka diakui oleh pengikut dan calon pengikutnya. Demikian sekilas yang diceritakan bapak AB. Lelaki kurus dan tinggi ini sebenarnya juga rindu pada keluarga besarnya, “Tapi jalan hidup sudah diambil dan mimpi-mimpi indah serta resikopun harus siap dipikul,” begitu imbuhnya.

Berbeda lagi dengan ibu NK (57 tahun)  dari Purworejo. Mendengar anak lelakinya yang bernama AMPJ (37 tahun) bersama keluarganya menjadi pengungsi di Donohudan tanggal 25 Januari. Segera dengan diantar adiknya, dia berkunjung ke Donohudan pada Rabu, 28 Januari 2015. Dia sampai di Donohudan pada pukul 06.45 WIB. Setelah melewati berbagai keperluan adminisrasi, maka ada pukul 07.25 WIB dia bisa beremu dengan anak, menantu, dan cucunya. Suasana sangat haru. Pelukan dan tangisan mewarnai keluarga yang sudah hampir 4 tahun tidak bertemu. Ibu NK tidak henti-hentinya memeluk anak lelaki satu-satunya itu. Selama kurang lebih 45 menit pertemuan, ibu yang memiliki usaha toko pakaian muslim ini memeluk dan menempelkan mulutnya ke telinga anaknya untuk memberi nasehat dan kata-kata yang membuat anaknya tenang dan tidak histeris lagi. Ternyata begitu indah pertemuan yang terjadi pagi ini. “Semua ada hikmah dan pembelajaranya mas,” demikian ibu NK lirih pamit dan berjabat tangan denganku .

Berbagai macam tamu berkunjung dan berkumpul di pendopo. Tamu-tamu merupakan keluarga pengungsi, pejabat pemerintah baik dari Boyolali maupun dari Provinsi Jawa Tengah. Saya berkesempatan ngobrol dengan pejabat dari Bidang Kesra Sekda Kabupaten Boyollai, dari PMI Boyolali dan juga dari Kesbangpolinmas. Sejak dua minggu lalu, Pemerintah Kabupaten Boyolali sudah melakukan persiapan terkait dengan akan datangnya pengungsi kelompok Gafatar. Pemerintah Boyolali menunjuk Kesbangpolinmas sebagai leading sektornya dan melibatkan Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, BPBD, dan PMI untuk melakukan proses-proses pelayanan sesuai dengan bidang masing-masing.

“DKK mengkoordinasikan puskesmas-puskesmas yang secara bergiliran selama 24 jam berjaga-jaga di Komplek Donohudan ini, sedangkan tenaga dari PMI melakukan aktifitas seperti mengkoordinasikan data pengungsi, layanan pemulangan dan kedatangan pengungsi  yang tentunya berkoordinasi dengan tim yang lain,” demikian disampaikan bapak Bambang dari PMI Boyolali. Di lokasi yang berbeda, saya berbincang dengan bapak Dadar dari Bidang Kesra Kabupaten Boyolali, dan bapak Pomo dari Kesbangpolinmas Kabupaten Boyolali. Mereka menyampaikan bahwa para pengungi dipastikan mendapat pelayanan dan sarana prasarana yang baik, mulai dari makanan, pakaian, obat-obatan yang tentunya atas bantuan dari para donator dan juga dari anggaran emergensi respon masing-masing SKPD. Disampaikan pula banyak terima kasih kepada para relawan dan donatur yang telah membantu para pengungsi. Disini kami memberikan dorongan moral agar mereka memiliki kepercayaan diri yang kuat. Kami juga melakukan koordinasi dengan kepala-kepala desa khususnaa yang dari daerah Boyolali, agar mereka bisa diterima kembali dalam masyarakat. Selama di sini, kami juga memberikan makanan batin melalui pengajian, ceramah dan lain sebagainya. (Sunoko Alee)