Cegah Perkawinan Anak Lewat Pendekatan Agama dan Budaya
- 15
- Jun
Hal tersebut mengemuka dalam Talkshow On Line Via Zoom “Menuju Jawa Tengah Bebas Perkawinan Anak” yang diselenggarakan SPEK-HAM dan Yayasan Kesehatan Perempuan dalam program Mampu pada Kamis 4/6. Talkshow yang dipandu oleh Fitri Haryani dari SPEK-HAM ini menghadirkan narasumber Nawal Nur Arafah Yasin, Ketua Umum BKOW Jawa Tengah dan Akademisi. Indriati Suparno, Komisioner Purnabakti Komnas Perempuan 2015-2019 dan Rahayu Purwaningsih, Direktur Yayasan SPEK-HAM.
Disampaikan Nawal Nur Arafah bahwa sudah saatnya masyarakat diedukasi untuk memahami dampak perkawinan anak. “Hentikan segala tafsir agama yang keliru dan hentikan praktik budaya yang merugikan perempuan”, ungkap Nawal. Dia menambahkan untuk meluruskan tafsir agama bukan hanya menjadi tugas tokoh agama saja, tetapi semua elemen masyarakat juga harus turut ambil bagian.
Dibagian lain dia menyambut baik dan mengapresiasi disahkannya UU No. 16 Tahun 2019 yang mengatur tentang batas minimal usia perkawinan yaitu 19 tahun untuk laki-laki maupun perempuan. Menurutnya ini adalah langkah maju untuk mengakhiri persoalan hukum perkawinan anak. Selain itu diharapkan pemenuhan hak kesehatan reproduksi bagi anak menjadi terpenuhi, angka kematian ibu dan anak menurun. Sementara itu kasus stunting, KDRT dan tindak pidana perdagangan orangdiharapkan juga menurun setelah UU ini diterapkan.
Sementara itu Indriati Suparno memaknai disahkannya UU ini yang disebutnya sebagai perubahan terbatas sebagai momentum yang luas untuk berbenah dan mewujudkan kesetaraan gender secara lebih masif. Walaupun menurutnya masih ada kelemahan karena masih mengatur tentang dispensasi perkawinan. Oleh karena itu pengawasan dalam implementasinya di tengah-tengah masyarakat perlu dilakukan.
Dia menambahkan walaupun sudah ada aturan ini tidak lantas menurunkan angka penurunan perkawinan anak. “Jateng nomor 7 terkait kasus perkawinan anak ini PR kita bersama, sementara Indonesia ada di peringkat 10 di dunia terkait kasus perkawinan anak menurut UNICEF”, ungkap Indri. Hal ini mestinya menjadi keharusan untuk terus melakukan advokasi agar kasus perkawinan anak menurun. Perkawinan anak bukan hanya masalah diranah tindakan yuridis formal tetapi juga masalah budaya yang masih mengakar di masyarakat.
“Kita sama-sama tahu, beberapa ketentuan hukum adat ada dalam amandemen KUHP. Di CEDAW juga sudah diatur, tetapi Indonesia belum mengimplementasikannya dengan baik. Perempuan rentan menjadi korban kekerasan dan putus sekolah. Oleh karena itu mestinya kalau memahami undang-undang ini perempuan korban kekerasan, tidak boleh dirujuk untuk melakukan perkawinan anak”, ungkap Indri.
Masih menurut Indri kasus-kasus perkawinan anak sebenarnya berkaitan dengan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Perkawinan anak yang terjadi seringkali bukan kesepakatan kedua belah pihak. Advokasi harus terus dilakukan. Langkah di tingkat nasional tidak berhenti pada amandemen ini. Kegiatan yang harus dilakukan bisa mulai dari peningkatan kapasitas di tingkat komunitas. Pemerintah melalui Bappenas sudah meluncurkan strategi untuk pengurangan perkawinan anak. Di daerah sudah ada program kota layak anak, wajib belajar 12 tahun, ini merupakan bagian untuk pencegahan perkawinan anak. Hal lainnya adalah SDG’S yang harus dicapai di tahun 2030 yang bisa menjadi pedoman dan rekomendasi di tingkat nasional maupun daerah.
Sementara itu Rahayu Purwaningsih menyampaikan bahwa SPEK-HAM bekerja secara spesifik bekerja pada isu kekerasan dan kesehatan reproduksi. Faktanya situasi perkawinan anak karena kehamilan tidak diinginkan seringkali terjadi. “Perkawinan anak itu ada banyak sekali resikonya, misalnya saat hamil diusia 17 tahun ke bawah faktanya pendarahannya tidak bisa dihentikan, dampak lainnya secara psikologis dan ekonomi yang belum siap. Hal lain berdampak pula pada berat badan bayi rendah, kematian ibu dan stunting. Kemudian resiko terjadinya kanker serviks tinggi sebesar 17,2% dan 30% berisiko mengalami kanker payudara”, ungkap Ayu.
Masih menurut Ayu, di Kabupaten Klaten yang menjadi salah satu wilayah intervensi SPEK-HAM ditemukan kasus kehamilan pada remaja di tahun 2016: 295 bersalin: 206, tahun 2017: 295 bersalin: 136, tahun 2018: 450 bersalin: 197 dan di tahun 2019 315, bersalin:144. Lebih lanjut dia menyambut gembira aturan tentang syarat minimal usia perkawinan dalam undang-undang ini. Selanjutnya dia berharap adanya edukasi kepada masyarakat luas lewat media massa dan media sosial, sehingga kasus perkawinan anak dapat menurun.
Sebagai informasi kegiatan Talkshow on line via zoom berlangsung selama 2 jam lebih dan diikuti oleh 73 orang peserta yang berasal dari berbagai latar belakang, terdiri dari Akademisi, PNS, Pelajar atau Mahasiswa, Pegiat isu anak, Aktivis Perempuan, dan sebagainya. Henrico Fajar K.W (Divisi Kesmas SPEK-HAM)