Di Balik Tungku-Tungku Tua
- 18
- Apr
“Peradaban Adat dan Perempuan-Perempuan Desa dalam Proses Pembangunan Perdesaan”
Kepulan asap dan aroma masakan kurasakan malam itu. Di tengah dinginnya udara pegunungan , aku melongkok di antara sumber aroma yang pasti akan dirindukan orang-orang saat rindu masa lalu akan kampung halaman. Suara dan tawa muncul dari pojok dapur yang berjelaga hitam. Tak ada kompor gas atau alat masak yang mewah, tapi alat-alat yang berjelaga menghitam. Dan aneka hasil bumi yang tergantung di antara papan-papan (pogo-red).
Aku semakin tertarik dengan aroma kepulan saat salah satu tungku saat dibuka dandangnya. Aroma singkong terbungkus daun pisang serta gula merah yang membuatku sesaat diam dan menikmati setiap hirupan napas dalam beberapa detik “ïni lemet namanya,Mas, atau mungkin disebut utri,“ kata Bu Jemini sambil mengambilkanku satu lemet dari dalam dandang tuanya. Aku nikmati sambil meniup makanan yang masih panas dan menikmati perlahan
Di tahun 2019 ini, masih ada perempuan-perempuan muda yang tergabung dalam Kelompok Berkah Mandiri berkisar umur 25 sampai 49 tahun. Rata-rata mereka menikah muda antara 14 sampai 16 tahun. Saat ini anak-anak mereka berumur 17 sampai 21 tahun dan sudah ada yang menikah dan memberikan cucu. Pernah suatu saat aku ngobrol dengan anak Bu Jemini yang bernama Dwi Muryanti. Aku bertanya apakah dia mau menikah muda. Dia hanya tersenyum, dan menggelengkan kepala tanda ragu dengan jawabannya sendiri. Mungkin dalam bayangannya, kok remaja tahun 2019 menikah muda? Tapi mendengar obrolan para ibu di dapur itu lantas terlecut pikiran berat menjalani hidup itu. Belum lagi persoalan anak, gotong royong, kegiatan sosial dan juga adat yang banyak mengeluarkan biaya yang besar.
Bu Jemini pernah bercerita harus meminjam uang di bank, bahkan pernah menjual hewan ternak sapinya untuk sekali kegiatan adat (sadranan). Padahal di Desa Cluntang ini setahun ada tiga kegiatan adat yang besar. Menurut Ibu Sri Lanjar (27), satu kali perayaan adat bisa menghabiskan tiga sampai lima juta. “Itu yang biasa dengan satu stan meja makan dan satu stan meja snack (biasanya satu stan meja berkisar 15 sampai 25 toples). Bisa di bayangkan,”ungkap Sri Lanjar.
Dari kedua perempuan tersebut, Jemini dan Sri Lanjar berkaitan dengan perayaan adat ternyata hingga hari ini belum banyak berubah. Sama saja. Terbersit pertanyaan nakal saya ke Ibu Sri lanjar “boros ya, Mbak?“ Lagi-lagi ibu dengan dua anak ini hanya tersenyum, sangat multitafsir menurutku.
Menarik lagi penuturan Ibu Suminah, ibu dari Ibu Jemini yang umurnya sekarang 76 tahun “Sekarang sudah enak, Mas. Zaman saya perawan dulu kalau mau sadranan dan lebaran makanan buat sendiri, atau tukeran dengan tetangga seperti kue satu, brondong, bolu mprit dll. Jadi kita gotong royong membuat makanan bersama-sama dan di bagi-bagi. Yang miskin ya bantu buat. Modal tenaga pulang minimal tiga toples terisi. Lha sekarang tinggal ke pasar, yang punya uang pulang bisa bawa puluhan makanan.” Berarti adat ini dari 30 tahun lalu hampir sama. Hanya kemudahan-kemudahan yang berubah saat ini karena adanya fasilitas, tapi prinsipnya-prinsipnya sama.
Kearifan lokal seperti kentalnya adat-istiadat ini, mereka yakini perlahan akan luntur atau kadarnya berkurang. Tanpa harus frontal diterjang, kiranya nanti terjadi pertentangan antara yang muda dan yang tua. Mereka membiarkan saja biar alam akan perlahan mengubah tanpa harus ada yang dikecewakan. “Yang muda minimal melihat dan merasakan perubahan Desa Cluntang, bahwa mereka paham dengan pembangunan yang mulai terarah tiga tahun ini. Mau tidak mau keterlibatan perempuan, baik dalam proses secara langsung maupun tidak langsung. Peran perempuan dalam berbagai organisasi yang di bentuk desa seperti BUMDES Perempuan juga dilibatkan. Tetapi di sisi lain masih ada adat kebiasaan yang dirasakan oleh perempuan khususnya muda, cukup terbebani. Khususnya bila ada perempuan yang menikah dengan laki-laki dari Desa Cluntang. Proses adaptasi panjang dengan berbagai benturan prinsip yang terkadang bisa menjadikan perempuan rentan dengan konflik dengan pasanganya, meski belum ada penelitian tentang itu.
Semua terasa ringan, saat perempuan punya tempat untuk berdiskusi, membaca situasi tentang perubahan. Ketika tungku-tungku dapur sederhana masih menyala dengan kayu-kayu bakarnya, dengan jelaga yang menghitam, menjadi surga untuk ngobrol melepas beban hidup sambil icip- icip aneka makanan sehingga terasa ringan beban apa pun. Saat berada di dapur tradisional yang selalu menjadi tempat favorit perempuan, masih mencoba menjadi perempuan yang beradab dengan alam dan adat istiadat. (noko alee)