FGD Rencanakan Penyusunan Buku Praktik Baik Advokasi Penganggaran Berperspektif Perempuan

FGD rencana penyusunan buku panduan praktik baik advokasi penganggaran

Pada akhir tahun 2017, SPEK-HAM telah melakukan evaluasi atas program-program pendampingan di perdesaan dan perkotaan, maka mendekati penghujung tahun 2018 teparnya Senin (17/12) sebuah FGD dilaksanakan untuk merencanakan penyusunan buku panduan praktik baik advokasi penganggaran strategis organisasi berdasarkan mandat dan rekomendasi yang disampaikan oleh kelompok dan komunitas perempuan.

Proses-proses pengorganisasian SPEK-HAM yang selama ini bekerja di masyarakat sedikit banyak membuahkan hasil dan akan didokumentasikan. Praktik baik selama ini telah terjadi seperti di Desa Kuncen atau wilayah lain yang sudah mulai mendapatkan anggaran dari pemerintah/desa, dimana sebelumnya perempuan belum mendapatkan perhatian, sampai pengganggaran desa pun tidak ada yang berpihak pada perempuan.

Kelompok perempuan bisa terlibat mulai dalam perencanaan anggaran hingga sampai musyawarah desa dan musrenbangdes. Namun akses ke situ masih jauh dari harapan. Kehadiran kelompok perempuan dalam musdes dan musrenbangdes lebih disebabkan hanya untuk memenuhi kuota daftar hadir saja, tetapi tidak lebih dari itu. Semestinya perempuan ditempatkan sebagai sumber pengetahuan untuk menerima dan memperhatikan  dan tahu penerima manfaatnya, mempertahankan usulan anggaran yang diajukan. Ingin terlibat aktif dalam implementasi program dengan terlibat menjadi pengurus/pelaksana program dan partisipasi aktif kelompok perempuan

Seperti yang terjadi pada kelompok Srikandi Gilingan Surakarta yang diwakili oleh Dwi Winarsih yang bisa terlibat dalam perencanaan anggaran dan tahu penerima manfaatnya, mempertahankan usulan anggaran yang diajukan. “Kami ingin pula terlibat aktif dalam implementasi program dengan terlibat menjadi pengurus/pelaksana program,”terang Dwi. Sedangkan di Kemlayan Surakarta, 80% perempuan ikut dalam Musrenbangkel, dan banyak posisi pada peran-peran strategis dipegang perempuan sehingga lebih mudah dalam penyusunan program kerja kelompok perempuan.

Sedangkan Candra Nendra Setiyati Wuryaningsih dari Kelompok Sadar Gender Kemlayan Surakarta mengatakan bahwa sebelum adanya pengarusutamaan, pengurus hanya bapak-bapak, kebutuhan dasar perempuan belum diperhatikan. “Alur kami adalah perempuan akan membawa usulan dari komunitas, terlibat dalam pengambilan keputusan atas kebijakan yang disepakati kemudian juga terlibat dalam implementasi program,”jelas Candra.

Lain cerita kelompok perempuan desa Musuk Boyolali. Mereka belum pernah dilibatkan dalam proses kegiatan penyusunan program desa, karena anggota kelompoknyai hanya dari komunitas terbawah di desa. Yulianti, salah seorang perwakilan kelompok perempuan desa Musuk yang turut hadir dalam diskusi mengatakan bahwa dullu pernah anggotanya diundang dalam musrenbangdes, namun kedatangannya hanya untuk menyetujui program yang sudah disusun sebelumnya dan tinggal mengesahkan tanpa melibatkan kelompok perempuan di proses sebelum-sebelumnya.

Fitri Haryani yang menjadi fasilitator dalam diskusi mengatakan bahwa harapannya para peserta yang mewakili kelompok masing-masing memiliki alur sebagai gambaran yang dilalui seperti pemenuhan secara administratif pembentukan kelompok dengan mengantongi SK kepala desa atau lurah setempat, penyusunan program kerja kelompok, mengawal proposal, sampai kepada mencari informasi terkait peluang misalnya dengan stakeholder atau tokoh-tokoh kunci di masyarakat sebagai langkah strategi sebagai penentu  kebijakan. (AP)

.