“Hah RSBI Bubar? Aku Bilang Juga Apa”
- 24
- Jan
Jika dibahas hari dan saat ini akan terasa berbeda. Berita ini usang tapi masih cukup panas untuk diramaikan. Keluarnya aturan MK untuk membubarkan sekolah-sekolah yang berlabel RSBI mengingatkanku akan satu tulisan anak Klaten yang membahas tentang sekolah yang mahal. Tulisan ini ditorehkan pada tanggal 26 agustus 2012 dan akhirnya tercetak dengan tinta keberanian 3 bulan sesudahnya. Tulisan dengan judul : Mengulik Program Kelas Khusus dan Mahalnya Pendidikan.
Tulisan anak ini bukan isapan jempol, setelah tahun berganti MK mendengarkan keluh kesahnya (meski berbeda cara mengungkapkannya tapi satu tujuan, yaitu jangan diskriminasi). Tak tanggung-tanggung putusan MK luar biasa, bubarkan RSBI.
Seringkali menteri, dinas pendidikan, guru dan bahkan orang tua mengira bahwa anak tidak bisa bersuara. Bagi orang-orang itu, pendapat anak adalah tanggisan dan rengekan anak kemarin sore yang tak selayaknya dipikirkan toh akhirya akan diam dengan sendirinya.
Cara pandang dan keluhan anak bukan prioritas utama bagi pengambil kebijakan. Kalau sudah begini : ‘yang sekolah siapa, yang menentukan siapa’. Irisan yang tidak jelas membuat salah kaprahnya dunia pendidikan. Tulisan anak itu mengupas tentang diskriminasi yang dibentuk oleh sistem pendidikan itu sendiri. Seolah pembedaan atas nama kualitas dan mutu sekolah bisa membungkam cara pikir anak yang diposisikan sebagai ‘objek’. Objek yang tak punya kuasa untuk berpendapat karena guru punya kuasa lebih untuk menggerakan tintanya diatas kertas rapot tiap semester.
Tulisan anak itu bernarasi tentang kehidupan sehari-hari dibalik terali jeruji RSBI (lebih khusus lagi, kelas unggulan). Sekolah seolah bukan tempat yang memerdekakan dan membebaskan. Sekolah dijadikan sekedar siklus hidup tanpa ada warna.
Ungkapan oknum guru yang tak ubahnya konsumsi sampah memperparah jurang pemisah antara kelas reguler (jika tidak mau disebut dengan kelas biasa) dengan kelas-kelas unggulan. Ini secuil torehan dalam tulisan itu “jika sama saja dengan pelajar kelas reguler, lalu apa gunanya masuk kelas ini (baca: kelas unggulan)”. Waoooo sekali kekerasan struktural dialami oleh anak-anak yang tak punya kuasa ‘memberontak’ dengan cara anak dari hari ke hari.
Dibalik terbitnya buku Cahaya si Bintang Kecil karya pikir anak-anak Klaten ini ada kisah yang belum terungkap. Tulisan tentang ‘gilanya sekolah’ ini hampir tak jadi ikut menghiasi buku kecil ini. Pikiran cerdas anak ini hampir terkalahkan dengan ketakutannya pada sekolah. Bagi si anak, tulisan ini mengancam keberadaannya. Mengancam karena dianggap tidak membawa nama baik sekolah malah sebaliknya. Hampir sang penulis mencabut tulisanya itu. Tapi ketakutan itu terkalahkan oleh keberaniannya untuk memperjuangkan hak anak.
Sayang sekali jika tidak membaca tulisan lengkapnya Wahyuningtas Puspitasari. Silahkan baca ulasan tulisan anak klaten ini jauh sebelum RSBI dibubarkan. Tulisan dengan judul ” Mengulik Program Kelas Khusus dan Mahalnya Pendidikan” menjadi bagian dari kisah-kisah yang mengangkat tentang kekerasan seksual, diskriminasi dan pemanasan global dalam buku Cahaya si Bintang Kecil yang dapat dipesan melalui SPEK-HAM dengan alamat Jl. Srikaya No. 14, RT 01/RW 04, Karangasem. Laweyan, Surakarta. Telp. (0271) 714057, Email : spek-ham@indo.net.id. (Maria Sucianingsih/spekham.org)