Masih Mahalkah Hakku?
- 21
- Sep
Oleh : Maria Sucianingsih
Semoga kebahagiaan hati,pikiran dan tindakan senantiasa menjadi warna dalam hidup anda.
Saya akan mengawali tulisan terkait Konvensi Hak Anak (KHA) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) dengan sebuah cerita sederhana.
Bagai katak di ujung tanduk. Itu adalah keadaanku sekarang. Berjuta pikiran melayang dalam angan tanpa bayang. Antara racun, obat, caci maki, dan duri-duri tajam yang menyerang. Entah kapan ini akan berakhir. Atau akankah memang bisa berakhir. Tapi mungkin saja akan segera berakhir jika aku mengakhirinya sekarang. Haruskah ada strategi utama dan paling berbahaya? Sungguh, hari panjang yang melelahkan. Aku harus memutuskan satu hal yang akan merubah seluruh kehidupan. Hari ini ulang tahunku ke-13. Tapi siapa peduli. Jangankan kado, ucapan selamat saja tertutup rapat dari mulut orang-orang yang mengenalku. Bukan hal aneh bila itu terjadi. Mana ada orang dengan ikhlas memberikan hadiah, meski sebenarnya sangat kuharapakan, begitu saja melemparkannya ke arahku. ”Anak cacat tak pantas mendapatkannya ”, bisa jadi mereka akan mengatakan itu.
Lagi-lagi suara menggelegar, ”To, mbok ya ngamen sana! Cari duit yang banyak! Jangan jadi anak males!”
Seperti biasa sambil membawa sapu lidi, ibu menakutiku, mungkin juga siap memukulku jika aku membantah. Bahkan, untuk menatapnya saja aku malas. Malas karena bosan dengan segala ocehan yang menyurutkan setiap langkahku.
”Iya Bu, tapi aku lagi cape. Tadi kan habis potong kayu.”
”Eh… ga usah alesan.”
Lalu apa kaitan penggalan cerita tersebut dengan KHA & UUPA? Silahkan merangkai sendiri akhir kisah ini. Anda boleh menjadi sutradara atas kisah diatas.
Satu hal yang pastinya membedakan anak dan orang tua. Anak belum pernah menjadi orang tua, sedangkan orang tua pasti pernah menjadi anak. Serangkaian kata bijak mengajak kita belajar dari pengalaman karena “Pengalaman adalah guru yang paling berharga”
-Berhenti disini dulu-
Sekarang kita menenggok kebelakang, mengetahui latar belakang KHA.
Bermula dari perang dunia pertama (PD I). Dimanapun dan kapanpun perang terjadi pasti akan menyisakan penderitaan. Begitu pula PD I, akibat perang banyak diderita oleh perempuan dan anak. Aktifis perempuan dalam pawai protes membawa poster-poster yang meminta perhatian public atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang. Eglantyne Jebb, seorang aktifis perempuan mengembangkan sepuluh butir peryataan tentang hak anak pada tahun 1923 lalu diadopsi oleh Save the Children Fund International Union. Liga bangsa-bangsa mendeklarasikan Hak Anak pada tahun 1924, biasa disebut “Deklarasi Jenewa”. Selanjutnya pada tahun 1948 (berkahirnya PD II) majelis umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia. Hari hak asasi manusia diperingati setiap tanggal 10 desember. Hari tersebut menandai perkembangan penting dalam sejarah HAM. Berikut adalah tahun-tahun penting sejarah perkembangan Konvensi Hak Anak :
– 1923 :Eglantyne Jebb (pendiri Save the Children) membuat rancangan Deklarasi Hak Anak (Declaration of the Rights of the Child)
– 1924 : Deklarasi Hak Anak diadopsi oleh Liga Bangsa Bangsa
– 1948 :Majelis umum PBB mengadopsi Deklarasi Universall Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights)
– 1959 : PBB mengadopsi Hak Anak untuk kedua kalinya
– 1979 : Tahun Anak Internasional. Suatu kelompok kerja dibentuk untuk membuat rumusan KHA
– 1989 : KHA diadopsi oleh majelis umum PBB pada tanggal 20 November
– 1990 : KHA mulai berlaku sebagai hokum internasional pada tanggal 2 september
Negara kita, Indonesia telah meratifikasi KHA dengan keputusan presiden no 36/1990 tertanggal 25 agustus 1990 dan mulai berlaku 5 oktober 1990 (sesuai pasal 49 ayat 2 yang berbunyi “Bagi tiap-tiap negara yang meratifikasi atau yang menyatakan keiukutsertaannya pada Konvensi Hak Anak setelah diterimanya instrumen ratifikasi atau instrumen keikutsertaann yang keduapuluh, konvensi ini berlaku pada hari ketigapuluh setelah tanggal diterimannya instrumen ratifikasi atau instrumen keikutsertaan dari negara yang bersangkutan”. Konsekuensi logis dari ratifikasi adalah negara (dalam hal ini adalah pemerintah) wajib menghormati, melindungi, mempromosikan dan memenuhi hak-hak anak khususnya yang terkandung dalam KHA.
Empat bagian berdasarkan struktur KHA, adalah ;
– Preambule (mukadimah) à berisi konteks KHA
– Bagian satu (pasal 1-41) à mengatur hak bagi semua anak
– Bagian dua (pasal 42-45) à mengatur pemantauan dan pelaksanaan KHA
– Bagian tiga (pasal 42-45) à mengatur masalah pemberlakuan konvensi
Empat prinsip umum yang terkandung dalam KHA ;
– Non diskriminatif
– Yang terbaik bagi anak (best interets of the child)
– Hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the right to life, survival and development)
– Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child)
Meski Indonesia telah meratifikasi KHA pada tahun 1990, negara Indonesia baru mampu mewujudkan dalam Undang-Undang khusus (lex spesialis) Anak pada tahun 2002. Yaitu UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Beberapa isi pokok UU PA adalah :
– Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (termasuk yang masih dalam kandungan)
– Hak dan kewajiban anak (hak anak : Hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi)
– Kewajiban dan tanggung jawab (ex: pasal 21 “negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/mental”)
– Kedudukan anak (identitas anak dan anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran); kuasa asuh; perwalian; pengasuhan dan pengangkatan anak.
– Penyelenggaraan perlindungan (agama, kesehatan, pendidikan, sosial, perlindungan khusus)
– Peran masyarakat, komisi perlindungan anak Indonesia
– Ketentuan Pidana (dalam UU ini tidak hanya mengatur hukuman hukuman penjara paling lama sebagaimana UU pada umumnya, tapi juga mengatur UU paling singkat rata-rata 3 tahun seperti pasal 81, 82 dan 83)
Sekarang kita lanjutkan cerita singkat pembuka diatas. Dalam cerita tersebut sangat jelas hak anak terabaikan oleh lingkungan terdekat. Kebutuhan dasar dan hak dasar (basic need and basic rights) anak hanya menjadi jargon musiman (baca: PEMILU). Jangankan pendidikan atau kesehatan, pangan yang merupakan kebutuhan sangat mendasar saja masih membutuhkan belas kasih. Lalu sejauh mana implementasi UU PA menjamin Hak Anak?
Kajian permasalahan diatas belum ditambah dengan kasus gizi buruk, anak putus sekolah & angka buta aksara. Katidakadilan terhadap anak khususnya bidang kesehatan terlihat dari angka kematian bayi (AKB) 26 per 1.000 kelahiran. Penyebabnya antara lain pendarahan, infeksi, kurang gizi dan darah, dan status sosio ekonomi yang rendah. Anggaran APBD tahun 2009 khusus untuk posyandu kabupaten Klaten sejumlah 300 juta (untuk 26 kecamatan atau 401 desa, bisa diasumsikan satu desa mendapat 748.130 ribu rupiah saja. Jika dalam satu desa ada 50 balita, maka gizi anak dalam setahun seharga Rp 15.000).
Dalam bidang pendidikan pemerintah mencanangkan sekolah gratis. Tapi nyatanya pemerintah lokal belum mampu membuat Peraturan daerah tentang pendidikan untuk mengimplementasikan sekolah gratis tersebut. Di Kabupaten Klaten, harian Republika mencatat tahun 2009 terdapat 6.110 anak tidak sekolah dan 4.283 anak putus sekolah.
Akankan cerita diatas selalu ada disekitar kita? Entah kapan akan berakhir. Misteri, mungkin itu jawaban pembenaran yang bisa kita berikan. Saya tutup tulisan ini dengan curahan hati seorang anak,
Demi sebuah mimpi
Berlari-lari mengejar mentari
Kala hujan menunggu pelangi
Sepertinya lelah enggan menyentuh
Tubuh kecil yang penuh semangat
Riak ombak bergulung dari kejauhan
Ketika aku menatap di sini
Pandanganku jauh menerawang
Esok,
Ah, aku masih tidak tahu tentang esok
Ku biarkan saja mimpi ini terbang
Melayang menggapai harapan
Aku tidak peduli,
Biarkan saja ini mengalir seperti air
Kalaupun aku tersandung
Itu sudah biasa, tidak usah khawatir
Aku akan bangkit lagi
“Jika anak-anak merasa diterima dalam kehidupannya, mereka akan belajar mengasihi”