Memutus Kekerasan dari Perempuan Sendiri
- 28
- Oct
James Pennebaker, Ph.D dari Texas University USA, memelopori menulis sebagai terapi. Seorang peneliti lain, Karen Baiki Pd.D dari Clinical Psychogist University New South Wales USA melakukan penelitian jika menulis mampu menjadi terapi yang menyembuhkan diri sendiri. Ternyata itu telah terbukti secara ilmiah, melalui serangkaian penelitian yang mereka lakukan.
Fitri Haryani, Manajer PPKBM, Pencegahan dan Penanganan Kasus pada Yayasan SPEKHAM menyatakan di hadapan 14 perempuan penyintas peserta FGD, Kamis (24/10) di kantor SPEKHAM bahwa dirinya biasa menerima kasus dan sampai terkesan. Ia melihat dampak yang dialami kemudian oleh para perempuan korban. Kekerasan yang dialami seorang perempuan itu berdampak pula kepada anaknya. Satu kasus yang diterimanya itu yang kemudian mengajak untuk berpikir panjang kembali, terutama karena anaknya mengalami kekerasan pula. Ini tidak hanya terjadi pada orang yang tidak mampu saja. Bisa jadi orang yang tidak punya pendidikan, sekolahnya tidak tinggi, pada orang-orang tidak mampu. Ini yang terjadi pada status sosial yang begitu mapan, pendidikan yang tinggi.
Ia kemudian melihat persoalan itu akan selalu terulang dan selalu terjadi kembali karena tidak ada yang berani mengungkapkan sehingga korban, dan dampaknya anaknya jadi depresi. Kemudian dia sendiri tidak berdaya, dia tidak mampu mengembangkan skillnya. Dengan menuliskan permasalahan yang dihadapi oleh para perempuan tersebut, Fitri berharap beban psikilogis akan berkurang.
Setelah berani mengungkapkan, dan menyampaikan, lalu muncullah perubahan. Fitri sangat mengapresiasi perempuan yang mampu membuka diri, karena terkait persoalan ini adalah bagian dari memutus kerentanan. Ada kasus telah berumur 20 tahun, dan kekerasan itu baru muncul dan kemudian menimbulkan dampak. Yang terjadi sekarang perempuan penyintas itu mampu bekerja, sudah stabil ekonomi, serta dapat memahami kondisi sosial yang dialaminya.
Menurut Elisabeth Yulianti Raharjo, Lawyer SPEKHAM, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi pada beberapa perempuan, mematahkan anggapan bahwa KDRT terjadi di strata bawah. Menurutnya ini tumpukan masalah yang tidak dikomunikasikan. Atau mungkin tidak tahu cara melepaskannya. ” Selama 20 tahun dipendam lalu meledak, bisa sampai wow gitu, jika hal ini kita tidak memiliki media untuk melepaskan beban psikologis,” tutur Liza.
Sharing sesama penyintas dengan menuliskan pengalaman hidupnya terkait kekerasan yang dialami ini bertujuan untuk mengungkapkan perasaan yang ingin dikeluarkan oleh para korban. Sebagian besar para penyintas merasa susah untuk mengungkapkan rasa (marah, takut, jengkel, sedih, cemas). Sedangkan kekerasan terutama bagi anak korban perceraian adalah anak menjadi sensitif. Perasaan negatif menjadikan dampak yang lebih besar.
Lalu bagaimana cara memanage rasa negatif?
Fitri mengungkapkan bahwa proses di SPEKHAM ada yang sampai tujuh tahun lamanya. Ada yang lebih parah tetapi bagaimana melakukan hingga menjadi perempuan yang mengalah (legowo)? Karena kekerasan itu yang memutus harus datang dari perempuan itu sendiri. Dan tujuan menulis ungkapan hati itu untuk menyampaikan pikiran negatif kemudian mengambil hal positif dari rasa negatif itu. (red)