“Menikah Usia Anak, Hal Lumrah?”
- 17
- Oct
“kabeh sidang kok, sidange neng kantor pengadilan cedak stasiun Klaten kae. Yen mung papat yo enek mbak jumlahe” (semuanya sidang, sidang ini dilakukan dipengadilan yang letaknya dekat dengan Stasiun Klaten. Jumlahnya ada 4 anak)
Kisah pernikahan dini tak lekang dimakan jaman. Usia bumi yang makin tua disertai semakin canggihnya teknologi bahkan tak menyurutkan niat anak di bawah umur yang memutuskan untuk menikah. Batasan usia untuk menikah memang tak sama antara satu peraturan dengan peraturan lainnya. Perdebatan panjang masih berlansung dikalangan pembuat kebijakan, namun tidak demikian bagi masyarakat Balerante (sebuah desa yang berada di lereng gunung Merapi) yang tidak mau ikut pusing karenanya. Tak tahu pasti apa sebabnya, yang jelas pada bulan-bulan terakhir ini, menurut Kadus I Desa Balerante setidaknya ada 4 anak menikah. Angka yang luar biasa karena Kabupaten Klaten merupakan salah satu kabupaten layak anak di Indonesia. Atau mungkin jumlah 4 anak yang menikah dalam 3 bulan di satu dusun masih dianggap angka yang kecil? Kenyataan lainnya, tak satupun anak yang menikah dini tersebut dikarenakan hamil duluan. Lumrah, begitu yang terlintas dibenak kebanyakan warga. Merekapun dapat pasangan tak jauh dari rumah masing-masing. ‘Peknggo’ (istilah dalam bahasa Jawa yang merupakan singkatan dari ‘ngepek tonggo’ yang artinya menikah dengan tetangga sendiri).
Dibalik lumrahnya kebiasaan nikah dini, di Balerante masih ada hal lain yang dianggap lumrah meski jaman sudah memasuki milenium ketiga ini. Tingginya angka putus sekolah anak yakni lebih dari 50% dari jumlah anak usia sekolah. Bahkan seluruh anak yang nikah dini tersebut masuk dalam hitungan anak putus sekolah di Balerante. Setelah menikahpun tak ada dari mereka yang berencana untuk keluar dari desa. Maka bisa diprediksi pekerjaan yang akan dilakoni adalah beternak sapi atau mencari pasir disungai. Tak heran jika siklus putus sekolah masih saja menjadi bahasan yang hangat dikalangan perangkat desa. Namun sayangnya, pembahasan hanya berhenti dimeja balai desa, karena nyatanya issue angka putus sekolah yang tinggi pada warga di lingkaran lereng merapi belum menjadi ‘program yang menjual’ bagi Bupati atau jajarannya untuk ditindaklanjuti.
Pendidikan adalah hak dasar yang sekaligus kebutuhan dasar. Kemana negara ketika angka putus sekolah masih tinggi disertai dengan fenomena nikah dini? Atau, apakah pemerintah juga menganggap bahwa kondisi ini hal yang lumrah terjadi di desa-desa? Kalau disandingkan dengan status kebencanaan (erupsi merapi), masalah sosial ini seharusnya sudah memasuki level “awas”. (Maria Sucianingsih/spekham.org)