[Kisah Nyata] Atas Nama : Nama Baik (Bag 2) : Kisahku Belum Selesai…

Kisah ini merupakan lanjutan dari kisah “Atas Nama : Nama Baik” yang telah diunggah pada tanggal 9 Agustus 2011, yaitu tentang kisah seorang perempuan bernama Bunga di Kabupaten Klaten yang mengalami hal yang tidak seharusnya dia alami dalam kehidupannya, yaitu menjadi korban tindak kekerasan yang membawa dampak merugikan bagi dirinya serta kelanjutan masa depannya. Dengan izin dari korban, spekham.org pun mengunggah kisahnya sebagai bahan pembelajaran bagi kita semua bahwa –sekali lagi- kekerasan dalam bentuk apapun dan dengan dalih apapun, tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Selama membaca.

Klik gambar untuk baca kisah sebelumnya

Kisahku belum selesai……

Lebih dari satu bulan aku harus mencari sekolah baru yang mau menerimaku. Dengan keadaan seperti ini aku berharap dapat kampus yang tidak merepotkanku dan biayanya terjangkau. Beberapa kampus sebenarnya bersedia menerima tapi biayanya mahal. Aku tidak sanggup karena aku harus mencari uang sendiri. Jelas tidak mungkin bagiku untuk meminta kepada orang tua atau saudara.

Sedikit cerita tentang pelaku yang membuat hidupku jadi nggak karuan ini. Entah cara apa yang dia lakukan, masih saja menggangguku lewat sms dan telp. Sudah aku cuekin tapi tetap nekat. Ingin rasanya proses hukum ini segera selesai agar aku bisa ganti nomer hp. Yang aku takutkan jika aku ganti nomor , jaksa atau orang yang mengurus kasus ini datang ke rumah karena nomerku tidak bisa dihubungi. Tentu saja hal itu akan menimbulkan kecurigaan di keluargaku. Pernah terjadi sekali, orang dari kejaksaan datang membawa surat untuku, untungnya aku sendiri yang menerimanya. Padahal dulu polisi berjanji kalau semua urusan surat akan dikirimkan lewat rumah temanku atau lewat sms saja. Ternyata……

Hakim sudah menjatuhkan hukuman 6 tahun atas kesalahan dia (pelaku). Ah, cukup sudah cerita tentang dia. Sebenarnya aku tidak peduli lagi dengan dia. Yang kuharapkan saat ini adalah aku dapat sekolah lagi dan bisa membahagiakan orang tuaku.

Di bulan Oktober 2011 sedikit harapan mulai nampak. Aku diantar temanku untuk mencari kampus baru. Kata temanku “sepertinya ada yang berubah dari tubuhmu ya?”, tak kutanggapi pertanyaan itu karena pikiranku hanya mencari kampus baru. Syukurlah ada kampus yang biayanya terjangkau untukku.

Ah…lagi – lagi urusan administrasi, kenapa untuk mensahkan agar aku tercatat sebagai mahasiswa saja tidak cukup dengan berkas yang kumiliki dan kudapat dari kampus lama? Kenapa aku harus berhadapan dengan kampus sialan itu lagi? Ya…kampus baru memintaku untuk mendapatkan surat pengatar dari rektor kampus lama. Kejadian itu serasa terulang lagi. Ketika aku menginjakkan kaki di kampus lama semua sorot mata menatapku seakan aku adalah setan yang layak dibuang dan mereka adalah orang yang paling suci sedunia. Tak cukup hanya sekali aku ke kampus lama dan selalu menimbulkan rasa sakit setiap kali ke sana. Entah kenapa tubuhku menjadi berat dan ingin rasanya pingsan. Seperti biasa, aku dilempar ke sana kemari demi mendapatkan selembar kertas dan itu harus kulalui.

Di sela – sela ‘kesibukanku’ mengurus segala urusan administrasi dan pekerjaanku, plus orang tuaku yang silih berganti sakit sehingga harus masuk ke rumah sakit, Kuberanikan diri untuk mengecek keadaanku sendiri, apakah aku hamil atau tidak. Dan hasilnya? Positif. Setidaknya itu tanda yang kulihat dalam alat pengecek kehamilan. “Tuhan…ujian apalagi yang harus kulalui?”

Aku bahkan tak tahu pasti berapa usia kehamilanku ini. Tak tahu kemana harus periksa agar kerahasiaanku ini tetap terjaga, karena aku tidak mau keluargaku tahu. Dan yang membingungkan, aku harus dapat uang dari mana untuk menjaga bayi ini? Di mata keluargaku, aku sudah hampir lulus dan sudah bekerja maka tidak jarang jika orang tuaku butuh bantuan aku pun harus ikut berkonstribusi. Padahal tabungan hasil kerjaku sudah ludes untuk kampus baruku.

Bersama temanku aku cek kehamilanku di rumah sakit swasta yang kuperkirakan tidak ada yang mengenali aku. Di sisi lain temanku yang mengantar ini juga baru saja melakukan cek USG sehingga mempermudah alur pemeriksaan yang harus kulalui. Sebelum cek, aku survey dulu… kali aja ada yang kukenal. Aman, dengan lega aku cek kehamilanku. Bayinya sehat, usia kehamilanku 6 bulan dan tidak rewel meski kuajak kesana-kemari kerja keras siang malam. Sekali USG aku harus mengeluarkan uang Rp. 250.000. Untuk menjaga kerahasiaan ini tidak mungkin bagiku mengakses jampersal atau layanan dari pemerintah lainnya. Karena aku yakin ada orang yang kukenal di sana atau tepatnya aku tidak bisa memilih siapa yang harus melayaniku saat kelahiran nanti belum lagi urusan administrasi yang membawa-bawa pemerintah desa atau keluarga demi mendapat layanan gratis. Jalan keluarnya adalah rumah bersalin pribadi atau swasta yang artinya aku harus keluar biaya.

Masih ada waktu tiga bulan bagiku untuk mencari jalan keluar terbaik. Aku tetap tidak mau orang tuaku tahu, aku tetap ingin melanjutkan sekolah dan aku ingin bayi ini lahir dengan selamat.
Untuk kesemuanya itu aku harus tetap bekerja. Mungkinkah semuanya ini bisa kujalani?

Adakah yang bersedia membantuku? Itu harapanku saat ini.

Klaten, 11 November 2011
Seperti yang dituturkan kepada Maria Sucianingsih