Siapakah Korban Kekerasan Seksual?

Refleksi penanganan kasus-kasus kekerasan seksual di Kabupaten Karanganyar-Jawa Tengah

Oleh : Nila Ayu Puspaningrum

(foto: Istimewa)

Mendampingi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang berbasis gender merupakan pengalaman SPEK-HAM sejak berdiri tahun 1998. Namun meski sudah kurang lebih 13 tahun berjalan, penanganan kekerasan khususnya kekerasan seksual justru mengalami kemunduran. Dari sharing pengalaman pendampingan di Kabupaten Karanganyar-Jawa Tengah terungkap bahwa seringkali aparat penegak hukum khususnya polisi tidak segera bertindak ketika mendapat laporan kasus kekerasan. Dari pengamatan selama melakukan pendampingan, SPEK-HAM juga menemukan bahwa aparat masih kurang sensitif kepada korban dalam memperoses laporan-laporan yang masuk.

Ambil contoh, dalam proses BAP (Berita Acara Pemeriksaan), korban masih sering ditempatkan sebagai pihak yang ikut berperan terhadap terjadinya sebuah kasus asusila. Pertanyaan – pertanyaan yang cenderung menyalahkan korban sering terlontar. Ketika ada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dekat seperti pacar, pertanyaan yang acap terlontar adalah ”Lha kok kamu mau melakukannya?”. Pertanyaan ini cenderung menempatkan korban di posisi yang makin tersudut karena dianggap punya andil dalam terjadinya kasus yang menimpanya. Korban ditempatkan sebagai pihak yang sama-sama mau bersetubuh dengan pacarnya. Polisi tidak mempertimbangkan soal ancaman dari pelaku, budaya yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak seimbang dalam relasi seksual dan faktor – faktor lain yang juga menyebabkan terjadinya kasus tersebut. Jika sudah demikian kasus tersebut kemudian dianggap sebagai bukan kasus kekerasan, melainkan karena suka sama suka.

Berlakunya Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 pun tidak menjadi rujukan dalam penanganan kekerasan seksual yang korbannya masih berusia anak. Dalam pasal 81 jelas telah diatur tentang sanksi bagi mereka yang melakukan ancaman kekerasan, kekerasan, tipu muslihat, kebohongan, dan membujuk anak untuk melakukan persetubuhan. Telah jelas bahwa persetubuhan dengan kebohongan ataupun bujuk rayu yang dilakukan pada usia anak adalah termasuk dalam kekerasan, sekalipun hal tersebut dilakukan oleh pacar atau orang terdekat. Dengan dasar hukum tersebut, seharusnya polisi tidak ragu lagi dalam memproses dan menetapkan pasal.

Dalam melakukan pendampingan korban kekerasan, fokus pada upaya membangun kesadaran aparat penegak hukum terhadap kesensitifitasan dan empati terhadap korban harus terus dilakukan. Karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa kesadaran aparat penegak hukum masih belum sepenuhnya terbentuk dengan baik. . Judul yang saya tulis diatas ”Siapakah korban kekerasan seksual?” rasanya tepat untuk mempertanyakan keadilan bagi korban kekerasan seksual, terutama yang dilakukan oleh pacarnya pada korban yang berusia remaja. Sulit sekali melalui proses pemeriksaan di kepolisian. Ketika pertanyaan seperti ”sudah berapa kali melakukan?”, ”kenapa tidak menolak?” dan sebagainya dilontarkan, itu sudah seperti menutup pintu keadilan bagi korban.

Membangun perpektif terhadap aparat penegak hukum harus menjadi rekomendasi prioritas. Memahami kembali isi pasal demi pasal dan seluruh aturan yang terkait dengan perlindungan perempuan dan anak harus menjadi aturan di kepolisian. Sehingga tidak ada kendala bagi siapapun untuk memproses pengaduan dari korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual.