Salahkan Otakmu, Bukan Rokku
- 19
- Sep
Oleh : Maria Sucianingsih
Kita semua pasti tahu dan bahkan mungkin mengalami ketika kita kecil dulu, setiap kali selesai mandi pasti akan didandani oleh orang tua kita. Setiap anak kecil hampir selalu didandani oleh orang tuanya setelah mandi. Entah diberi bedak, minyak telon, pakaian yang lucu dan lain sebagainya. Dandanan itu akan makin menjadi-jadi jika objeknya adalah anak perempuan. Alasannya biar wangi, biar cantik. Hampir pasti disetujui oleh semua orang bahwa membuat anak menjadi cantik atau cakep setelah mandi adalah tindakan otomatis orang tua terhadap anaknya. Sehingga mata kita sudah dimanjakan oleh tampilan yang cantik dan cakep sejak usia dini.
Tapi itu tidak salah, baik bagi yang melihat, mendandani atau yang didandani. Sejak kecil kita selalu diminta untuk berpenampilan menarik. Pandangan untuk selalu berpenampilan menarik itu lalu didukung penuh oleh industri atau pasar. Dari ujung kepala hingga ujung kaki semua bisa didandani. Terutama bagi kaum perempuan. Ada saja tawaran menarik untuk mempercantik diri. Penampilan selalu menjadi syarat utama dalam menerima seorang perempuan. Yang paling gampang, lihat saja di dalam iklan – iklan lowongan pekerjaan, biasanya di bagian kriteria pelamar ada tertera ‘berpenampilan menarik’. Tak heran jika orang kemudian menjadi berpandangan bahwa penampilan memang harus diutamakan, karena dalam banyak hal memang ditemui keadaan di mana penampilan dijadikan syarat.
Tidak ada yang salah dengan berpenampilan menarik. Bukankah kita suka dengan hal – hal yang menarik? Berpenampilan adalah hak setiap orang. Apalagi berpenampilan itu adalah suatu hal yang individual. Sehingga sifatnya menjadi relatif. Setiap orang punya ide dan pemikiran sendiri tentang bagaimana agar bisa tampil menarik. Tak heran jika ada beraneka ragam penampilan di muka bumi ini. Yang menjadi masalah kemudian, adalah ketika penampilan dijadikan motif atau alasan untuk mendiskreditkan seseorang.
Memperbincangkan tentang penampilan yang menyudutkan atau mendiskreditkan tidak akan ada habisnya. Sampai – sampai pembicaraan yang semacam ini pun dibahas oleh pimpinan daerah. Mirisnya, bahasan tentang penampilan itu malah serasa lebih penting ketimbang membahas kemiskinan atau pendidikan yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan utama di banyak daerah di Indonesia.
Misalnya tentang himbauan Bupati Aceh Barat yang menghalalkan memperkosa perempuan yang pakai rok mini. Himbauan itu pernah dimuat dalam artikel Kompas bulan Agustus 2010. Dimuat pertama kali di The Jakarta Globe (hasil wawancara dimuat 18 Agustus 2010). Kemudian muncul seruan protes dari MUI terkait hal ini (juga di The Jakarta Globe dan versi Indonesianya ada di Kompasiana). Berita semacam ini mencuat lagi tanggal 17-18 September tapi kali ini ada dukungan dari MUI (berbeda dengan tahun sebelumnya di mana MUI protes). Berita ini muncul dari Kemendagri dan Gubernur DKI. Pernyataannya ’’Kaum hawa yang menggunakan sarana angkutan umum saat bepergian hendaknya tidak menggunakan rok mini.” Alasan sang gubernur adalah karena rok mini bisa mengundang syahwat dan bisa menyebabkan terjadinya pemerkosaan.
Membaca pernyataan itu, otak saya jadi berpikir mengingat – ingat apakah pernah ada kasus pemerkosaan yang saya temui yang melibatkan korban dengan rok mini. Hasilnya, sepanjang pengetahuan saya selama ini, saya tak pernah menemui ada kasus pemerkosaan yang melibatkan korban dengan rok mini. Setidaknya dalam catatan SPEK-HAM yang sejak tahun 1999 telah menangani 345 kasus kekerasan berbasis gender di mana 86 di antaranya adalah kasus-kasus kekerasan seksual di mana pemerkosaan juga ada di dalamnya, tidak tercatat adanya korban yang sedang berpakaian mini ketika peristiwa pemerkosaannya terjadi.
Dalam hal ini kaum perempuan kembali menjadi pihak yang disalahkan atas sebuah keadaan. Disalahkan karena pakai rok mini sehingga muncul pemerkosaan. Menyalahkan satu pihak – dalam konteks ini adalah kaum perempuan – atas banyaknya kasus pemerkosaan yang terjadi bukanlah suatu hal yang relevan. Terlebih jika vonis penyebab kesalahan itu ditujukan kepada mereka yang terlanjur menjadi korban pemerkosaan, karena setahu saya, korban sesungguhnya harus menjadi pihak yang dibela dan dilindungi. Tetapi yang sering terjadi, dalam beberapa kasus, korban justru menjadi pihak yang disalahkan. Korban menjadi korban lagi berkali-kali. Yang pertama korban dari tindakan perkosaan itu sendiri, lalu masyarakat ikut menghakimi karena korban dianggap tidak bisa menjaga diri dan penampilannya dan sekarang ditambah oleh aparat pemerintah yang notabene adalah tangan panjang negara yang ikut melegalkan penghakiman sepihak. Meski sekarang sudah ada pos layanan terpadu untuk membantu korban, namun hingga sekarang aksi nyata untuk rehabilitasi psikologis korban perkosaan belum ada formulanya.
Semua kasus asusila hampir selalu menyalahkan perempuan atau setidaknya menjadikan perempuan sebagai obyek yang harus diatur agar keadaan berjalan baik. Dalam hal moral, seolah – olah perempuan adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas kerusakan moral yang terjadi pada suatu bangsa. Seolah – olah bahwa biang pornografi adalah tubuh perempuan. Seolah – olah permasalahan moral bangsa ini akan selesai jika kaum perempuan diatur-atur harus begini dan begitu.
Saya jadi berpikir, bagaimana kita akan menjadi bangsa yang maju jika pemerintahnya malah mengurusi hal – hal yang bukan menjadi prioritasnya. Pemerintah terlalu khawatir akan hal – hal yang sebenarnya tak perlu dikhawatirkan. Lebih jauh lagi, urusan bangsa seharusnya menjadi urusan bersama baik laki-laki dan perempuan. Semua harus bekerjasama untuk mencapai kesejahteraan yang menjadi cita – cita bangsa. Pemerintah seharusnya berfokus menjalankan perannya sebagai pemimpin untuk mencapai cita-cita bangsa tersebut. Bukan malah sibuk mengurusi pakaian perempuan. (mms)