Negara Perlu Memberi Koridor bagi Perkawinan Beda Agama

Meskipun hingga saat ini perkawinan beda agama belum diakui, tetapi dalam praktik sehari-hari perkawinan beda agama tetap saja berlangsung. Karena itu sudah seharusnya negara memberikan koridor bagi perkawinan beda agama. Jika tidak, negara dianggap melakukan pembiaran di depan mata.

“Dengan melakukan pembiaran, negara seharusnya terkena sanksi karena melakukan pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Dr Musdah Mulia, Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) di Solo, Senin (13/3).

Selain Musdah, Dialog Publik dan Bedah Buku Perkawinan Lintas Agama dan Kebijakan Pluralisme yang digelar SPEK HAM, Kapal Perempuan Jakarta, Komisi Perempuan Kevikepan Solo, Fatayat NU Solo, juga menghadirkan pembicara Romo FX Gunawan Heru Susanto MSF (Paroki Santo Petrus Purwosari, Surakarta), Sechah Walafiah (Fatayat NU Surakarta) dan Vera Kartika Giantari (SPEK-HAM Solo).

Menurut Musdah, perkawinan beda agama yang murni didasarkan karena cinta seharusnya tidak dipersulit karena itu adalah hak asasi manusia. “Sepanjang kawin beda agama tidak ada tendensi politik, saya kira bisa dipertimbangkan jalan keluarnya sehingga masyarakat bisa menerima dengan hati yang lapang,” ujarnya.

Untuk menghindari agar perkawinan beda agama tidak dijadikan modus operandi untuk politisasi agama, sebaiknya sebelum perkawinan tersebut perlu ada penelitian awal.

Hingga kini, lanjut Musdah, masing-masing agama di Tanah Air memiliki pandangan terhadap perkawinan beda agama, namun demikian seharusnya agama bersifat dinamis. Selama ini di masyarakat ada ketakutan-ketakutan yang tidak mendasar dalam memandang perkawinan beda agama.

Romo Gunawan mengakui, kawin campur antara pemeluk agama yang berbeda hingga saat ini merupakan masalah yang tak kunjung selesai dalam masyarakat. (SON)

Sumber: Harian Kompas

Post Tagged with ,

Comments are closed.