Perempuan Tuli Memiliki Hak Bahasa Isyarat tanpa Diskriminasi
- 30
- Sep
Hari Bahasa Isyarat Internasional (HBII) telah diresmikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan diperingati setiap tanggal 23 September sejak 2018. Tujuan diperingatinya HBII adalah meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahasa isyarat dan memperkuat bahasa isyarat HBII menjadi bagian dari Pekan Tuli Internasional yang merupakan inisiatif World Federation of the Deaf (WFD) pertama diluncurkan tahun 1958 di Roma, Italia. Orang-orang Tuli bersama keluarga, teman, pemerintah, Juru Bahasa Isyarat (JBI) dan organisasi difabel turut berpartisipasi bagi kurang lebih 70 juta orang Tuli di seluruh dunia. WFD terdiri dari 135 asosiasi orang Tuli nasional.
Tema yang diangkat dalam HBII 2019 adalah “Hak Bahasa Isyarat Bagi Semua” yakni hak bahasa isyarat tanpa diskriminasi bagi orang Tuli, anak Tuli, perempuan Tuli, sesepuh Tuli, Tuli LGBTQIA, migran Tuli, orang Tuli netra, keluarga dengan anak Tuli, anak dari Tuli dewasa dan semua orang lain yang menggunakan Bahasa Isyarat. Demikian siaran pers yang ditulis oleh organisasi Gerakan untuk Kesejahteraan Tuli Indonesia (Gerkatin) Surakarta.
Perempuan Tuli lebih detailnya dibahas dalam Piagam WFD dengan rincian, “Kami mencatat bahwa perempun Tuli kurang terwakili dan menghadapi diskriminasi ganda karena jenis kelamin dan interseksualitas disabilitas mereka. Langkah-langkah khusus harus diterapkan untuk melindungi, keanekaragaman dan partisipasi yang setara dalam masyarakat dan dalam proses pengambilan keputusan untuk semua orang Tuli.”
Dalam sebuah riset yang dipublikasikan, Nurliana Cipta Apsari mengatakan bahwa perempuan tuli merupakan populasi yang rentan mengalami kekerasan seksual. Hal ini disebabkan karena para pelaku kejahatan seksual ini menganggap bahwa korban tidak akan mampu untuk menceritakan pelecehan seksual yang dialaminya kepada orang lain dan pihak berwajib. Pelaku kekerasan seksual itu sendiri seringkali adalah orang-orang terdekat korban seperti keluarga, tetangga, dan kekasih korban. Para perempuan Tuli korban kekerasan seksual ini seringkali tidak dapat menghindar, karena mereka diancam, dipaksa, disekap dan atau bahkan diculik.
Fenomena perempuan Tuli korban kekerasan seksual ini masih minim ditangani oleh para penegak hukum karena berbagai hal, seperti misalnya tidak ada aduan/laporan kepada pihak kepolisian. Banyak sekali kasus kekerasan seksual tidak sampai ke ranah hukum. Kalaupun sampai pada tahap pelaporan, pihak aparat penegak hukum pun kadang masih belum berperspektif kepada difabel, terutama difabel Tuli. Dalam mengungkapkan kasusnya, yakni dalam pelaporan, banyak aparat yang tidak menyediakan penerjemah bahasa isyarat bagi Tuli. (red)