Tulisan Cinta dari Ujung Kota Klaten

www.aidsindonesia.comAku ingin hakku…
Bersatu dalam masyarakat..

Melantun merdu terbahak-bahak…
Walau HIV menggantungi…
Walau AIDS menghantui…
Namun, aku ingin berkarya…
Membanggakan IndonesiaS…..

Sepenggal puisi di atas adalah bentuk dari suara hati kami, teman-teman IRT ODHA, yang bisa kami suarakan untuk memompa semangat hidup kami. Kami punya hak! Kami punya keistimewaan, dan “ODHA” memang “ISTIMEWA”

Kisah perjalanan dan cerita cinta Ibu rumah tangga ODHA dari ujung kota klaten (Hasil obrolan dengan Ibu rumah tangga ODHA).

Klaten. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sering menjadi bahan perbincangan masyarakat umum dari sisi negatifnya saja, tanpa melihat sisi positifnya. Paling tidak, itulah yang banyak saya jumpai di lingkungan pergaulan saya. Sebenarnya banyak pembelajaran dan hal positif yang bisa didapatkan dari mereka, seperti yang kami dapatkan dari hasil ngobrol dan diskusi dengan beberapa Ibu rumah tangga (IRT) ODHA di Klaten.

Ibu “D” adalah seorang ibu rumah tangga dari Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten. Tahun 2011, “D” mempunyai satu anak dari perkawinannya yang pertama  (status negatif). Dia merupakan ODHA yang berani membuat pengakuan kepada keluarga dan pimpinan di mana dia bekerja, bahwa dirinya telah terinfeksi HIV. Dia menuturkan asal muasal pertama kali terinfeksi HIV. Setelah “D” ditinggal pergi oleh suaminya, dia berpacaran dengan seseorang yang ternyata pengguna narkoba suntik (Penasun). Dia terinfieksi HIV dari pacarnya ini. Gejala pertama yang dialaminya berupa sakit menaun yang tidak kunjung sembuh (pilek, diare, flu dan lain-lain) dan kemudian dilakukan pemeriksaan. Pada tahun 2011, “D” dinyatakan positif HIV. Hal yang sangat luar biasa adalah “D” sekarang bukannya terpuruk dengan status ODHA, tapi dia bangkit menata hidup kedepannya bersama putri tercinta. “D” juga menjadi berkat bagi teman-teman sesama ODHA. Saat ini “D” bekerja di Lembaga “Peduli Kasih” sebagai pendamping teman-teman ODHA.

Kisah lain muncul dari Ibu “W” yang belum siap untuk dipublikasikan. “Butuh keberanian yang luar biasa untuk mengakui pada publik kalau saya sudah terinfeksi oleh virus mematikan. Kala itu masyarakat belum seperti sekarang yang mulai agak terbuka dengan ODHA,” ujarnya. Dia menjelaskan, bahwa sampai saat ini ibu “W” belum memberi tahu kepada keluarga karena belum siap dengan segala yang akan terjadi. Ibu “W” terinfeksi HIV dari suaminya yang pada saat mudanya (sebelum menikah) suka memakai jarum tato bersama-sama. Pada waktu itu Ibu ‘W” juga tidak tahu kalau suaminya terkena HIV, yang dia tahu pada waktu itu suaminya hanya sakit biasa. Kecurigaan bu “W” semakin besar setelah diketahui muncul jamur di lidah suaminya, dan penurunan berat badan, sampai meninggal. Kini bu “W” menjalani kehidupan sehari-hari bersama keluarga besarnya dengan berdagang.

IRT ODHA yang lain adalah Ibu “B”, yang menceritakan kisah hidupnya sampai bagaimana dia bisa terinfeksi HIV postif. Ibu “B” dulunya adalah seorang karyawati perusahan kosmetik, kemudian dia menikah dan dikarunia seorang anak. Dalam proses perjalanan hidupnya, Ibu “B” dalam aktifitas kerjanya bertemu dengan seorang laki-laki lain di luar rumah (PIL), dan sampai menjalin hubungan yang sangat dekat. Tanpa dia sadari, ternyata si laki-laki membawa virus HIV. Semua disadari setelah kelahiran anak keduanya. Setelah proses kelahirannya, anak ini mengalami sakit yang tidak sembuh-sembuh dan harus keluar masuk Rumah Sakit. Yang lebih membuat ibu “B” terpukul dan menyesal adalah bahwa suami tercintanya, yang pernah diduakannya, dinyatakan positif HIV juga. Ada hal menarik dari keluarga Ibu “B” ini. Ibu “B” menyadari dan mengakui kesalahan yang telah diperbuat hingga sampai menularkan HIV kepada anak kedua dan suami. Suami dari ibu “B” berkata “Ini adalah proses hidup kita, jadi apapun yang menimpa kita harus kita jalani sampai nanti maut memang benar-benar menjemput kita.”

Apa yang menimpa Ibu “M” tidak berbeda jauh dengan apa yang dialami oleh Ibu-ibu rumah tangga ODHA yang lainnya. Ibu “M” mendapatkan HIV dari suaminya yang bekerja sebagai sopir, yang beresiko tinggi untuk “jajan” di luar rumah. Selain itu, suami Ibu “M” ini adalah seorang penghobi tattoo. Setelah anaknya sering keluar masuk Rumah Sakit selama sebulan, akhirnya diketahui status anaknya positif.  “Hari-hari saya seakan penuh dengan penyesalan dan sangat berat. Apalagi ditambah dengan bocornya status anak saya di tengah masyarakat yang pada waktu itu dibocorkan oleh kelurga saya sendiri. Masyarakat melihat saya dan anak itu seperti sesuatu yang tidak berharga, selalu menjadi topik pembicaraan di satu Desa. Baginya, hal itu tidak berlangsung lama. Saya bisa diterima lagi secara untuh oleh masyarakat. Saya sekarang aktif dalam kegiatan PKK dan Posyandu.

(antonius danang/edit : nuel/spekham.org)