Pekerja Seks dan Sensitivitas Pemberitaan Media*
- 28
- Nov
Namanya Tina (bukan nama sebenarnya). Ia seorang perempuan pekerja seks, Tuli dan memiliki seorang bayi berumur delapan bulan. Tina ditemukan meninggal di sebuah hotel kelas melati, sekitar Terminal Tirtonadi. Seorang laki-laki pelanggannya diduga sebagai pelaku pembunuhan Tina. Petugas hotel menemukan Tina sudah tak bernyawa setelah curiga ketika malam hendak tiba, tak ada lampu menyala di kamar sewaan Tina.
Siang itu di tahun 2016 saya mendapat tugas dari manajer saya untuk mengulik kematian Tina. Ia datang dari Yogya kemudian kami berdua menyusur jejak kematian Tina. “Tidak usah ditulis untuk berita. Kita hanya bikin laporan untuk lembaga,”kata Ismail manajer saya. Ismail Tuli namun ia berbahasa verbal cukup baik. Saya bekerja sebagai kontributor untuk media solider.id, milik NGO SIGAB Yogyakarta. Ismail sebagai manajer media sejak solider.id versi online lahir awal tahun 2013.
Penelusuran saya tentang sosok Tina dimulai dengan mencari alamat teman sekolah Tina di sebuah SLB di Solo. Kebetulan tempat tinggalnya di Semanggi, satu kelurahan dengan rumah saya dan saya kenal baik sosok perempuan muda itu. Dari keterangan yang saya dapat dari Eli, Tina pernah bergelut di dunia modeling saat sekolah, namun tak banyak diketahui oleh Eli setelah mereka sama-sama lulus. Hanya saja Eli pernah mendapat informasi jika Tina sudah menikah. Namun Eli tidak bisa menjawab ketika kami menanyakan alamat rumah Tina. Rupanya ia beberapa waktu sudah tidak saling berkontak.
Setelah bertandang dari rumah Eli, kemudian kami ke Polresta Surakarta menemui kasatreskrim dan mendapat data-data terkait status kasusnya serta alamat rumah Tina. Kemudian kami melakukan investigasi namun bukan untuk laporan di media, tetapi lembaga, guna kemungkinan pendampingan kasus Tina. Tidak ada yang satu pun media yang memberitakan tentang meninggalnya Tina.
Saya memiliki keprihatinan jika ada media yang memblow-up suatu peristiwa yang terjadi terkait dengan pekerja seks misalnya tentang pembunuhan, pencurian atau perampasan namun tidak disertai sensitivitas korban. Para pekerja seks rentan mengalami kekerasan seksual. Jika ada peristiwa pembunuhan, banyak sekali media yang mengekspos tentang peristiwa pembunuhannya, bukan kekerasan seksual yang sebelumnya dialami oleh korban. Kalaupun ada pemberitaan terkait kekerasan seksual yang dialami, bukan yang berperspektif korban namun terkesan mengeksploitasi tulisan yang mengundang pembaca hingga menjadikan viral. Tulisan semakin menebalkan stigma dan sangat diskriminatif.
Sudah baik, ketika makin ke sini, media sudah memiliki keberpihakan kepada pekerja seks, terkait pemilihan terminologi. Media lebih memilih term Pekerja Seks Komersial (PSK) lalu sekarang menjadi Pekerja Seks (PS). Bukan lagi pada pilihan kata pelacur, Wanita Tuna Susila (WTS), kupu-kupu malam atau cabe-cabean (istilah yang pernah merebak di tahun 2000-an). Pelacur dari kata ‘lacur’ yang berarti malang, celaka, dan sial.
Istilah WTS muncul di saat pemerintahan orde baru dengan melakukan penghalusan kata (eufemisme). Istilah ini bahkan diresmikan dengan payung hukum berupa Keputusan Menteri Sosial nomor 23/HUK/1996. Namun istilah WTS tidak lagi dianggap mewakili para pekerja seks karena hanya mengarah kepada gender perempuan, tidak kepada laki-laki atau bahkan gender lainnya. Pada tahun 90-an di Barat muncul istilah “Sex Worker” kemudian kita terjemahkan sebagai pekerja seks.
Beberapa Perda tentang PSK muncul di beberapa daerah seperti Perda Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 tentang larangan melakukan Pelacuran. Perda Kabupaten Indramayu nomor 7 tahun 1999 tentang Prostitusi. Pasuruan memiliki Perda nomor 10 Tahun 2001 yang gencar untuk direvisi karena dianggap hanya menyentuh pekerja seks, bukan pihak-pihak yang yang membantu. Ada lagi Perda DKI Jakarta nomor 8 Tahun 2017 tentang ketertiban umum. Tidak secara spesifik, namun didalamnya mencantumkan tentang PSK, “pelanggan dan PSK bisa mendapatkan hukuman maksimal 90 hari dan denda maksimal 30 juta.” Masih digunakannya kata PSK pada perda-perda sebagai bukti bahwa dibutuhkan advokasi-advokasi untuk merevisinya. Apalagi terkait tentang konten undang-undangnya, tentu baik ketika undang-undang itu tidak malah mendiskriminasi pekerja seks dengan memperlakukan sebagai kriminal.
Kerentanan pada Pekerja Seks
Sebuah penelitian di Psychiatric University Zurich menemukan bahwa pekerja seks di sana mengalami alasan-alasan : 30% karena suka, 29% karena tidak ada pekerjaan lain, 26% untuk membantu keluarga, 24% guna membayar tagihan-tagihan. Sedangkan dari referensi yang saya baca, penelitian-penelitian di Indonesia mengemuka terkait karena kondisi ekonomi dan eksploitasi ekonomi.
Riset Carmen P. Mc Lean dari National Center for PTSD Va Boston Helthy System ada 50% pekerja seks mengalami gangguan mental : mood, anxiety (kecemasan), post traumatic, stress syndrome dengan penyebab lingkungan kerja, dukungan sosial dan kekerasan seksual.
Tirto.id menulis bahwa langkah penting untuk perlindungan para pekerja seks dilakukan oleh Amerika Serikat. Seperti yang ditulis The Guardian, Amerika Serikat akan menjadi negara pertama yang mensahkan undang-undang mengenai dekrimininalisasi pekerja seks yang bernama “Violence in the Sex Trades Act”. RUU setebal 13 halaman itu mengatur di antaranya soal pemerkosaan, perdagangan manusia, hingga penyerangan maupun pelecehan seksual dengan tujuan untuk menjamin para pekerja seks mendapat perlindungan yang memadai dan tidak dikriminalkan.
Menarik ketika saya membaca sebuah berita viral, Meghan Markle dengan dukungannya kepada para pekerja seks di Bristol. The Sun memberitakan bahwa Meghan melakukan gerakan dengan menulis pada pisang “Kamu kuat”, “Kamu dicintai”, “Kamu istimewa.” (Astuti Parengkuh)
*naskah ini dipaparkan sebagai materi dalam diskusi terfokus terkait sensitivitas media terhadap pekerja seks oleh Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), Solofood Resto, Selasa (26/11)