Peringati Rangkaian 16 HAKTP Siaran SPEK-HAM di RRI Pro 1 Surakarta

siaran SPEK-HAM bersama PTPAS dan korban di RRI Pro 1

Kasus kekerasan angkanya semakin tinggi dan ada masyarakat menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan atau melanjutkan ke ranah hukum/litigasi. Unit Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS) selama kurun waktu 2017 menangani 87 kasus . Angka itu turun pada tahun 2018 yakni sebesar 66 kasus namun naik di tahun 2019 yakni 76 (sampai Oktober). 66 kasus di tahun 2018, 96 kasus di tahun 2019. UPT PAS berkantor di Baletawangpraja. Dan peran penjangkauannya dengan melayani layanan pengaduan yang masuk atau korban datang sendiri, atau dari lembaga lain seperti SPEK-HAM dan kepolisian atau karena penjangkauan. “Dari yang masuk dilakukan assesmen awal,” demikian dikatakan oleh Saprastika dari PTPAS pada siaran bersama SPEK-HAM yang menghadirkan korban dengan penyiar Hani di RRI Pro1, Rabu (20/11).  

Kalau perlu koordinasi kasus maka koordinasi dengan lembaga lain misalnya si korban membutuhkan layanan hukum ada SPEK-HAM, Kakak, Aisyiyah, YAPHI dan masih banyak lagi. PTPAS juga melakukan pendampingan saat di pengadilan. Ada juga layanan medis misalnya klien membutuhkan bantuan pemeriksaan kespro dan pastinya pembiayaan terkaver serta ada layanan rumah aman. Misalnya terjadi kekerasan istri dipukuli suami, bisa datang ke shelter. Layanan ini dengan batas waktu 14 hari. “Kita melayani juga sampai pulang dan integrasi sosial misalnya dari luar kota memulangkan ke rumah asal dan kembalikan ke keluarga,” terang Saprastika.

Vi, korban kekerasan seksual pada siarannya menyatakan bahwa ia mengalami kekerasan seksual pada tahun 2017 saat berumur 15 tahun. Saat pada usia 16 ia hamil. Ceritanya waktu itu pelaku dekat dengan ibunya. Hubungan keluarga antara ayah dan ibunya tidak harmonis. “Dia bilangnya mau ngayomi mau membantu ekonomi keluarga, tetapi dia minta imbalan yakni saya. Dia saya pikir betul-betul jahat. Saya korban kekerasan seksual. Saya dibujuk lama-lama saya terpikat. Lalu saya ketemu keluarga angkat dia yang berjanji mau melepaskan dia dari saya. Selama saya di situ, saya nggak tahu kalau saya hamil. Tahu kalau ia saya laporkan, lalu mendekati saya tetapi tetap tidak bertanggung jawab terhadap anak saya,”ungkap Vi.

Rahayu Purwaningsih, Direktur SPEK-HAM menanggapi bahwa penanganan korban harus secara holistik dan semua harus terlibat karena kasus kekerasan seksual naik. Temuan bahwa angka korban kebanyakan rata-rata di usia 13-17 tahun dan anak-anak SD banyak yang menjadi korban, ini membuktikan bahwa semua harus terlibat. Institusi sekolah memberikan komitmen lalu berapa besar komitmennya, apalagi sekarang banyak tagline sekolah ramah anak. Sekolah harus ramah.”Kasus di Wonogiri korban lebih 30 anak oleh seorang pelaku. Lalu ada kasus sesama teman sekolah jadi mucikari,”ungkap Rahayu.

Menurutnya lagi, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti dinas sosial, dinas pendidikan serta dinas pariwisata dan kebudayaan yang membawahi ijin perhotelan, tempat karaoke serta huburan lainnya harus mengambil peran di masyarakat. Dinsos dan Dispar yang membawahi perijinan hotel, karaoke mengambil peran di masyarakat. Lalu ada rumah sakit dan RSJ ada korban yang alami depresi. RSJ jadi mitra strategi, tidak hanya institusi. “Kita perlu secara holistik mampu mengkoordinir semua pihak. Saat ini kita segera masuk 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), mari bersama dukung anti kekerasan terhadap perempuan dan   anak, siapa pun dia laki-laki atau perempuan.Moga kita lebih keras bersuara,”pungkas Rahayu Purwaningsih. (red)