Siaran Radio Immanuel-SPEK-HAM : Sahkan RUU P-KS!
- 17
- Sep
Siaran Radio Immanuel-SPEK-HAM pada hari Rabu (11/9) bertema tentang urgensi segera disahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang dari tahun ke tahun tidak mengalami penurunan.
Kalau melihat data secara lengkap ada 406 ribu kasus kekerasan seksual. SPEK-HAM sendiri di tahun 2018 ini setidaknya menangani kasus kekerasan yang meningkat 66% dari tahun sebelumnya. “Mungkin karena informasi masif, penyuluhan, kesadaran masyarakat ada kesadaran yang berakibat peningkatan kasus. Ini berdasar pengalaman kami, bagi perempuan dewasa meningkat, tetapi dalam perlindungan hanya dilihat aspek kecakapan hukum, tidak dilihat dampak psikososial, itu kenapa RUU P-KS dimunculkan agar terkait perlindungan sosial, fungsi rehabilitai, perlindungan sosial, restitusi, upaya penanganan yang harus secara khusus,”jelas Fitri Haryani. Menurutnya ini tidak serta merta tidak bisa dianggap sama tetapi ini persoalan yang berdampak dan bahwa dampak yang dialami korban dibawa seumur hidup terkait pemulihan bisa seumur hidup jika tidak ada upaya yang dilakukan oleh semuanya.
Terkait kekerasan seksual, organ seksual itu berbagai macam, ketika kita berbicara organ reproduksi itu berarti organ seksual saja tetapi bisa bentuk tubuh sebenarnya bagian dari organ seksual. Melihat situasi dan kondisi terkait tren meningkat dan ragamnya semakin luar biasa kemudian butuh perlindungan secara khusus yang mengatur secara khusus di RUU P-KS ini.
Jumlah yang meningkat, bisa jadi dari masyarakat sendiri harus semakin aware semakin sadar diri bahwa dia harus melaporkan jika ada korban. Kalau dulu mau lapor takut, atau malu-malu.
Fitri menambahkan bahwas selama ini belum ada perlindungan secara khusus kepada korban dan kenapa ini dimunculkan, setidaknya ada celah-celah dalam perlinudngan yang ada. Jka di KUHP perkosaan hanya dimaknai jika ada bukti penetrasi, padahal perkosaan itu bisa dengan memakai alat yang lain. Itu juga kekerasan seksual. Salah satu pengalaman di Tangerang, ada pengalaman yang tidak baik, pelaku sampai memasukkan gagang cangkul di dalam vagina korban, tetap ada penyerangan terhadap orga seksual.
Terkait dengan kasus kasus perbudakan seksual yang terungkap sehingga kami melakukan pendoukumnetasian berama komnas perempuan dan forum pengada layanan : prkatik -praktik adat, juga pemaksaan kontrasepsi, ada terjadi kekerasadi dalamnya, kenapa itu dimasukkan dampaknya tidak ada concern, atau kemudian kasus perempuan HIV positif yang dipaksa, padahal mereka punya hak untuk reproduksi, persoalan-persoalan itu yang selama ini tidak dianggap kekerasan seksual., “Prosesnya yang kami pahamkan bahwa kekerasan seksual itu tidak hanya perkosaan. Tetapi ragamnya juga, ini berdasar kajian yang kami dokumentasikan tidak hanya wilayah Surakarta saja, tetapi seluruh Indonesia.
Target pengesahan RUU P-KS, mestinya 25 September panja sudah membahas, tetapi situasinya tarik ulur dan kepentingan politik. Sejak 2014 RUU ini dibahas dan diterima oleh DPR sejak 2016 dan menjadi RUU yang dirancang oleh DPR. “Kan ini sebenarnya prosesnya amat panjang dan kalau ingin mempelajari lebih jauh, apasih susahnya mengesahkan? apakah mereka bagian dari kekerasan sehingga mereka tidak mau mengesahkan? Ini pikiran pribadi saya sih sebenarnya,”ungkap Fitri.
RUU P-KS Ini tidak hanya berbicara tentang soal perlindungan hukum secara khusus bagi korban tetapi ada upaya-upaya secara komprehensif. Artinya semua punya peran dari masyarakat, pemerintah, aparat penegak hukum dan lembaga-lembaga yang ditunjuk secara khusus di dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Jadi dari upaya pencegahan, rehabilitasi, bukan hanya upaya kepada korban saja dan selama ini ini memang belum ada secara khusus UU yang memberi rehabilitasi pada korban. RUU P-KS mengatur juga upaya rehabiltasi bagi pelaku dan keluarganya, dan ditambahan pidana. Ada upaya-upaya untuk mengalami rehabilitasi mengenai cakap hukum, upaya untuk misalnya memberi kesadaran bahwa sesuatu hal dilakukan tidak dengan kekerasan.”Ini upaya pemulihan untuk korban dan pelaku,”jelas Fitri. (red)