Warna-Warni Seksualitas Perempuan dan Hak Kesehatan Reproduksi

Rabu, 3 Desember 2014, Talitakum bersama SPEK HAM Surakarta mengadakan diskus publik yang bertemakan “Warna-Warni Seksualitas Perempuan dan Hak Kesehatan Reproduksi” bertempat di Griya Solopos. Acara ini mendatangkan 4 narasumber, yaitu  Reny Kistiyanti (Direktur Talitakum), Endang Listiani (Direktur SPEK HAM), Ichwan Prasetyo (Jurnalis Solopos), dan T.A Harry Prapanca (Dosen Psikologi Universitas Srajana Wiyata Taman Siswa Yogyakarta).

IMG_20141205_074106Dalam pembahasan pertama, Reny Kristiyanti mengungkapkan tentang konsep SOGIEB yaitu singkatan dari Sexual Orientation, Gender Identity, Expression, and Body. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bagian besar dari seksualitas individu dan formula yang mudah untuk lebih mengerti tentang konsep seksualitas. Maka, sebenarnya sex dan gender adalah sesuatu hal yang berbeda dimana sex dibawa sejak lahir, bersifat universal, bersifat biologis, tidak berubah dari waktu ke waktu. Sedangkan gender terbentuk secara sosial, bisa berubah dari waktu ke waktu, dan lebih kepada keragaman ciri. Yang diakui masyarakat kita hanya mengenal heterosexual yaitu pasangan lawan jenis namun bagaimana dengan perempuan yang tidak bisa mengambil kebijakan akan seksualitasnya? Perempuan non-mainstream sering mendapat deskriminasi masyarakat.

Seperti yang dikemukakan oleh Endang Listiani selaku Direktur SPEK HAM, bahwa perempuan non-mainsteam sulit untuk mendapat akses kesehatan ataupun akses informasi. Diskriminasi masih kental karena Undang-Undang di Indonesia seperti Undang-Undang Pornografi masih menganggap homoseksual adalah pelanggaran. Sedangkan dalam Undang-Undang kesehatan masih mengikat dengan pasangannya, yang berarti pasangan heteroseksual. Ini tentu akan menyulitkan homoseksual, khususnya perempuan non-mainstream atau lebih dikenal dengan lesbian untuk mengakses layanan kesehatan. Seharusnya jaminan kesehatan masyarakat sudah tidak bersyarat atau terikat dengan seksualitas. Hak mengakses kesehatan untuk kaum homoseksual harus ada.

Sedangkan menurut T.A Harry Prapanca  “Kepribadian tidak diturunkan secara genetik tetapi karena faktor lingkungan. Setiap orang sangat berpotensi menjadi homoseksual. Diskriminasi masyarakat yang kental juga dipengaruhi oleh media masa seperti koran. Masyarakat akan lebih percaya dengan hal yang diberitakan media masa.” Jurnalis Solopos Ichwan Presetyo mengatakan bahwa pendidikan gender juga harus ada dalam pers agar stigma yang ditunjukan dalam penulisan berita tentang homoseksual bisa berubah.

Membuka hak seksual memang masih dianggap kriminal di Indonesia. Strategi yang harus dilakukan adalah advokasi yang menggugah nurani seseorang tentang HAM.  Belajar untuk menghargai keragaman orientasi seksual juga harus ditumbuhkan. (indah sf/spekham.org/photo : indri suparno)