Berbagi Pengalaman Antar Korban Kekerasan

Suasana diskusi korban kekerasan

Namanya Ibu Tia (bukan nama sebenarnya). Usianya hampir 63 tahun. Ia memiliki tiga anak perempuan. Dia juga sudah mempunyai tiga cucu. Ibu Tia asli kelahiran Solo namun bekerja di Rembang. Dan sekarang balik tinggal di Solo.

Ibu Tia berkisah bahwa menurutnya orang bercerai itu gampang asal keduanya sudah menginginkanya palu diketuk. Tetapi ternyata prosesnya lama karena keduanya tinggal berjauhan, Ibu Tia di Rembang dan sang suami di Solo. Ia kesusahan mencari saksi karena di Rembang tidak ada yang tahu masalah sebenarnya yang ia hadapi. “Anak saya tahu banget, tetapi anak saya tidak mau dan karena tidak boleh anak dijadikan saksi,” terang Ibu Tia. Saudaranya tidak mendukung perceraian tetapi setelah ia menceritakan masalahnya akhirnya mendukung.

Lain lagi cerita kisah Rara (bukan nama sebenarnya). Perempuan yang memiliki dua anak tersebut ditalak suaminya lewat WhatsApp pada pertengahan tahun 2018.  Keluarga suaminya tidak setuju jika mereka berpisah karena berpikir tentang bagaimana anak-anaknya nanti. Suaminya sering pulang malam malah kadang tidak pulang. Selidik punya selidik suaminya memiliki kekasih perempuan lain. “Sekarang aja dia jarang ngasi uang jajan buat anak-anak. Saya mikirnya itu anak. Kalau nanti saya nikah lagi tu takutnya anak malu dengan bapak barunya, saya takut kalau anak saya tidak cocok dengan bapak barunya,”terang Rara.

Fafa (bukan nama sebenarnya) menikah di usia sangat muda, 17 tahun karena dijodohkan. Seinggu setelah menikah dia sudah mendapat perlakuan KDRT dari suaminya. Fafa tidak pernah bercerita kepada keluarganya. Selama menjalani pernikahan selama lima tahun, ia baru mendapatkan momongan. Kekerasan itu masih didapatkannya setelah anaknya lahir. Kekerasan dalam bentuk diselingkuhi oleh sang suami. Fafa pernah dipaksa untuk mentransfer sejumlah uang untuk perempuan keasih suaminya. “Saya pernah diseret-seret dan banyak orang yang melihat tapi tidak ada yang mau menolong karena dia ngomong kalau saya istrinya dan tidak ada yang menolong. Akhirnya saya teriak “Copet! Copet! akhirnya jama’ah masjid pada keluar dan dia lami ketakutan,” terangnya.

Elizabeth Yulianti Rahardjo, pengacara SPEK-HAM yang memfasilitasi diskusi mengatakan bahwa sharing yang dilakukan oleh para korban. Menjadi kegelisahan-kegelisahan para korban. Liza lalu memuji para korban yang telah memiliki satu langkah untuk memutuskan jalan hidup. “Saya juga sangat paham kalau perasaan teman-teman naik turun karena itu wajar banget. Jangan menganggap bahwa  itu kelemahan kita dan anggap saja itu proses yang harus dilalui.,” terang Liza.

Menurutnya proses persidangan itu tidak bisa secepat yang dikehendaki karena semua itu perlu proses. Harus ada tahapan yang memang harus dilalui ada beberapa tahapan, hal yang diterima oleh hakim yang ada perselisihan terus-menerus, soal KDRT, sehingga tidak ada yang mau dipersatukan lagi. Keribetan soal saksi karena saksi yang melihat mengetahui kejadian perkaranya. Soal diputus atau tidaknya itu tergantung hakimnya juga. “Pokoknya kita saling percaya aja yang penting kita saling jujur. Kemudian kalau ada yang mau diceritakan disini bisa ceritakan kalau belum berani bercerita berarti kita bisa saling berkenalan maupun memahami satu dengan yang lain serta persoalan perempuan. kita jadi merasa tidak sendirian.” pungkas Liza. (red)