BPJS harus pastikan semua warga terlayani hak kesehatannya

Diskusi sedang berlangsung

Dari tahun 2016 SPEK-HAM bekerjasama dengan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) didukung Program MAMPU melakukan riset untuk rumah sakit dan masyarakat umum untuk melihat implementasi JKN BPJS apakah sudah memberikan dampak pada perempuan. Faktanya banyak perempuan yang datang ke layanan kesehatan sudah dalam keadaan sakit.  SPEK-HAM membangun perspektif perempuan untuk melakukan tes kespro berupa IVA Test secara rutin dengan kesadaran sendiri mengakses JKN-BPJS.

Dari IVA Test yang telah dilakukan pada 150 perempuan hasilnya adalah 30 terdiagnosa Infeksi Menular Seksual (IMS), 6 orang mengalami IVA positif/gejala kanker serviks. Selain itu SPEK-HAM juga melakukan advokasi dengan Dinkes Boyolali. Dari advokasi tersebut layanan yang semula hanya berjumlah enam menjadi 14 lalu kini ada 21 layanan yang menyediakan IVA Tes. Menjadi pekerjaan rumah bersama ketika kesadaran perempuan untuk mengakses layanan kesehatan berbasis JKN-KIS masih rendah. Inilah forum bersama yang diharapkan mampu memantau bahkan mengadvokasi agar implementasi JKN-BPJS dapat berjalan dengan lancar.

Untuk menghimpun narasi-narasi dari pemangku kebijakan, termasuk dari organisasi-organisasi perempuan terkait jaminan kesehatan, apakah sudah sepenuhnya mengakomodir hak kesehatan bagi perempuan, dan apakah jaminan tersebut menimbulkan polemik di kalangan masyarakat, maka SPEK-HAM mengadakan diskusi tingkat daerah yang diselenggarakan di Front One Hotel, Senin (18/11). Para peserta terdiri dari OPD seperti dinas kesehatan, dinas sosial, Forum JKN, Fatayat, Aisyiyah, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan perwakilan organisasi terkait. Diskusi dimoderatori oleh Antonius Danang Wijayanto dan menghadirkan Sinam M Sutarno sebagai fasilitator serta dibuka oleh Direktur SPEK-HAM, Rahayu Purwaningsih.  

Sarjito dari Universitas Boyolali mengungkapkan bahwa permasalahan yang muncul di masyarakat yang ia terima adalah terkait pelayanan dari pihak rumah sakit karena antar rumah sakit yang satu dengan yang lain berbeda. Ada pembatasan layanan terutama di kelas 3. Misalnya kasus pasien oleh pihak rumah sakit dinyatakan kelas 3 habis, kemudian ada saudara yang tahu bahwa sebenarnya itu masih ada tempat tidur yang kosong. “Ini kan ada dua sikap rumah sakit yang berbeda, mohon solusinya bagaimana?” tanya Sarjito.

Nur fauziah dari Fatayat NU menyatakan bahwa ada kasus yang pernah ia dengar dari seorang pengasuh panti asuhan, ada anak panti yang kecelakaan. Lalu anak tersebut dibawa ke rumah sakit dan tidak bisa diklaim BPJS. Ia diminta untuk memfoto kejadian kecelakaan tersebut. Akhirnya dengan terpaksa panti asuhan harus membayar 7 juta kepada pihak rumah sakit. Rumah sakit tersebut ada di daerah Mojosongo.

Lain lagi cerita Nur Aini dari Aisyiyah bahwa JKN-KIS tujuannya saling gotong-royong atau tolong-menolong. Tetapi di sisi lain sifatnya wajib. Bagi mereka yang bekerja mungkin tidak berat, tetapi bagi yang tidak bekerja dan dia tidak diakomodir dalam program Penerim Bantuan Iuran (PBI) tentu berat. Nah kira-kira berapa banyak warga yang tidak bernaung dalam perusahaan?

Beberapa kebijakan tumpang tindih seperti adanya perbedaan kebijakan antara jasa raharja dan BPJS dan itu sering terjadi ketika penanganannya di rumah sakit. Maka diperlukan prosedural dan mestinya lebih praktis. “Kesehatan kita berjenjang maka semua layanan bisa tahu porsi layanan masing-masing. Misalnya Puskesmas seperti apa? Rumah sakit seperti apa? Ini harus dijelaskan BPJS. Rumah sakit swasta lain lagi karena dikelola mandiri, dan akibatnya kalau tidak ada keuangan yang baik maka bisa gulung tikar,” terang salah satu peserta diskusi.  

Persoalan lain datang dari praktisi kesehatan, Warsini dari Ikatan Bidan Indonesia (IBI)bahwa selama ini para peserta JKN-KIS sudah mampu melayani kesehatan oleh bidan-bidan. Namun untuk pemeriksaan kehamilan, masih terkendala Surat Ijin Praktik Bidan (SIPB). Di Boyolali dari 800 bidan, yang berpraktik 400, dan yang memiliki SIPB baru 201. “Dari BPJS aturannya untuk IBI Boyolali tarif persalinan 700 ribu. Untuk saat ini, menurut kami kurang relevan apalagi sekarang menolong persalinan harus bertiga,”pungkasnya.

Beberapa peserta diskusi tak hanya bercerita tentang ketimpangan kebijakan, namun juga kisah baik ketika mereka mengakses JKN-KIS saat keluarga ada yang sakit dan harus dirawat.   Bahwa banyak masyarakat yang sangat tertolong dengan hadirnya layanan BPJS Kesehatan, akan tetapi semua warga harus dipastikan terlayani dengan baik. Mujiyanto Dari DarmaDesa menegaskan jika memang ada yang terdata , Pemerintah Desa bisa ambil alih. “desa saat sebagai institusi paling dekat dengan masyarakat bisa membantu masyarakat untuk membayar Iuran JKN” tandas Mujiyanto. Diskusi juga merekomendasikan agar BPJS memilik sistem yang baik untuk menjangkau perubahan kepersertaan yang diakibatan oleh kondisi ekonomi yang berubah seperti peserta Mandiri, Penerima Bantuan Iuran dan Penerima Upah.

Dari Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali, diperoleh keterangan telah menyediakan anggaran sebesar 17 Milyar dari APBD untuk warga yang tidak terkaver PBI dan bisa mendaftar sebagai peserta Jamkesda. Dan himbauannya bagi warga pengakses PBI yang sudah meninggal, keluarganya sebaiknya langsung mengurus ke BPJS agar hak kepesertaan bisa dialihkan kepada warga yang masuk daftar tunggu.

Sebagai tindak lanjut dari forum diskusi ini maka SPEK-HAM akan menyelenggarakan diskusi lanjutan dengan menghadirkan pihak BPJS Kesehatan sebagai lembaga penyelenggara JKN-KIS serta anggota dewan dan para OPD terkait. (spek-ham)