Hentikan Kekerasan Seksual
- 07
- Jan
Selasa, 23 Desember 2014 Balai Mangantipraja.
“Kekerasan dan ancaman kekerasan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Penculikan, penjarahan, penganiayaan dan pembunuhan telah menjadi hiasan setiap hari dalam media massa. Begitu juga halnya dengan kekerasan seksual terhadap kaum perempuan, merupakan bagian dari fenomena kekerasan secara umum yang dapat dilihat sehari-hari. Kekerasan terhadap perempuan memiliki rentang yang amat sangat panjang, karena tindakan tersebut dapat dilakukan tanpa adanya tanda-tanda ‘kekerasan’ yang nyata, bahkan dapat terselubung dalam bahasa ‘kasih saying’ atau ‘cinta’ sekalipun. Kekerasan terhadap perempuan juga dapat dilakukan oleh perempuan yang lain, tidak semata – mata lelaki yang menjadi pelakukanya”. Itulah beberapa ungkapan yang disampaikan Wakil Walikota Surakarta Bp. DR.H. Achmad Purnomo, Apt dalam sambutanya acara seminar tersebut.
Sebelum penyampaian materi dari para narasumber, acara dimulai dengan tampilan teatrikal “Gugur Bunga” dari teater Mondroguno. Gugur Bunga dimaknai sebagai simbol keprihatinan atas semakin meningkatnya kejadian kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan seksual dalam proses mencari keadilannya. Setelah penampilan teatrikal Mondroguno kemudian dilanjutkan dengan seminar. Dimulai presentasi Direktur SPEK-HAM Ibu Endang Listyani S,S yang menyampaikan tema “Situasi Kekerasan Seksual & Problematika Pendampingannya“. Di sampaikan kekerasan seksual dari tahun ke tahun semakin meningkat jumlah serta beragam motifnya. Di dalam penaganananya juga mengalami banyak problematika, diantaranya :
- Belum ada penyelesaian sistemik dan struktural, hanya seperti pemadaman kebakaran. Akar kejahatan ini tidak terlepas dari lingkaran persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan pendidikan.
- Perlakuan hukum justru berpihak/melindungi pelaku dan merugikan rasa keadilan bagi korban.
- Banyak kasus tidak sampai ke proses penuntutan karena hambatan kurangnya alat bukti.
- Proses hukum memakan waktu lama dan berbelit-belit.
- Mekanisme hukum acara pidana di Indonesia berorientasi pada perlindungan hak pelaku sebagai terdakwa/tersangka.
- Belum adanya perlindungan khusus dan mekanisme pemulihan bagi korban yang disediakan oleh Negara.
- Orientasi penyidik dan penuntut umum yang tidak lagi mewakili kepentingan perempuan korban.
- Vonis pengadilan rendah: penerapan sanksi hukum diserahkan pada subjektivitas hakim.
- Tidak ada sanksi kedinasan/disiplin yang tegas untuk memberikan efek jera.
- Perempuan dewasa korban kekerasan seksual sulit mendapatkan hak-haknya melalui mekanisme hukum pidana:
- Kasus perbudakan seksual (Kekerasan dalam Pacaran) à selalu ditolak pengaduannya oleh Kepolisian (dianggap suka-sama suka).
- Kasus pelecehan seksual à selalu ditolak Kepolisian à kecuali jika ada/terjadi kekerasan fisik yang menyertainya.
- Kasus trafficking untuk tujuan seksual à Kepolisian tidak mampu melanjutkan pengaduan korban (tidak cukupnya alat bukti, unsurnya dianggap tidak terpenuhi).
- Proses hukum lama dan melelahkan, pemeriksaan menyudutkan korban, keterbatasan bukti, alasan suka sama suka/sama-sama turut menikmati. à mengkoreksi perilaku dan menyalahkan cara berbusana korban, menyalahkan korban karena datang ke tempat/rumah/kost pelaku, meragukan kesaksian korban, dan lain-lain à Aparat Penegak Hukum dan sebagian masyarakat (pengalaman dalam siaran radio).
- Sering kali korban dan keluarganya tidak mendapatkan perlindungan hukum dari serangan dan ancaman pelaku à terlebih jika pelaku memiliki kewenangan/kekuasaan.
- Berbeda jika korbannya anak à dapat dilaporkan hingga vonis PN.
- Kasus kekerasan dalam rumah tangga terutama kasus kekerasan seksual dianggap bukan sebuah tindak kekerasan. Ketika kasus dilaporkan ke kepolisian maka upaya yang dilakukan adalah damai. Asumsi di institusi kepolisian merasa kekerasan seksual tidak bisa terjadi di dalam rumah tangga.
- Korban KS (perkosaan dalam rumah tangga) tidak mengakses mekanisme hukum pidana untuk menuntut hak-haknya.
- Memilih mekanisme hukum perdata (PA/perceraian/pemutusan hubungan perkawinan dengan pelaku).
- Kasus-kasus perbudakan seksual dan trafiking anak:
- Pelaku hanya dikenai tuntutan dan hukuman dengan UUPA
- Tidak menggunakan UU No. 21 /2007 tentang PTPPO.
- Tidak berfungsinya gugus tugas trafiking yang ada di beberapa Kab/Kota
- Tidak adanya anggaran untuk pencegahan trafiking
- Sikap BP3TKI yang belum berpihak kepada korban à menganggap dugaan kasus trafiking sebagai kesalahan administrasi.
- Masih terdapat hukuman yang ringan bagi kasus percobaan perkosaan dengan alasan kurangnya bukti dan hanya kekerasan fisik saja yang diproses dengan pemberian hukuman 7 bulan. Kekerasan fisik saja yang dianggap memiliki cukup bukti tetapi percobaan untuk perkosaan yang mengakibatkan trauma pada korban belum dilihat. Hal ini tentunya tidak memberi efek jera bagi pelaku dan tidak ada keadilan bagi korban. Contoh: terjadi di wilayah Boyolali.
- Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pejabat publik atau tokoh masyarakat masih belum secara cepat ditangani pihak kepolisian. Bahkan pihak kepolisian atau penegak hukum memiliki pandangan yang semakin menyudutkan atau mencari kesalahan korban kekerasan seksual.
- UU PKDRT belum mampu melindungi kelompok rentan (perempuan dan anak di wilayah domestik).
- Pembaharuan hukum tidak diikuti perbaikan pola & mekanisme
- Perempuan korban KDRT justru mengalami kriminalisasi à pelapornya adalah suami atau keluarga suami.
- Pemerintah Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur kekerasan seksual:
- UU yang ada hanya memuat beberapa bentuk kekerasan seksual à kejahatan kesusilaan.
Selanjutnya penyampaikan materi dari narasumber Komnas Perempuan yang diwakili oleh Ibu Sri Nurherwati mengambil tema “MENDORONG KOMITMEN PEMERINTAH DALAM PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL”. Ada beberapa upaya yang dilakukan KOMNAS PEREMPUAN terhadap Pemerintah antara lain:
- Merumuskan usulan tema kampanye nasional.
- Menyiapkan berbagai informasi yang terkait tema.
- Menyediakan desain tema yang bisa dipergunakan oleh mitra kampanye.
- Menyediakan dukungan narasumber untuk mendukung kegiatan kampanye di daerah.
- Menyediakan alat kampanye -terbatas- (pin, kaos, tas, kalender & buku agenda).
- Mengkompilasi agenda kegiatan yang akan dipublikasikan secara meluas melalui media massa, website, facebook Komnas Perempuan dan jaringan i
- Melakukan penggalangan dana (kampanye G-16) untuk mendukung kerja WCC.
Perwakilan POLDA, KomPol Sudarmono dalam materinya menyampaikan diantaranya Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat (Korban KDRT) adalah (UU KDRT):
- Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (pasal.11).
- Setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya unsur kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
- Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
- Memberikan perlindungan kepada korban;
- Memberikan pertolongan darurat dan
- Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan (pasal. 15).
Ada sesi tanya jawab yang dimoderator oleh Eko R. Fiaryanto dari LRC-KJHAM yang dibagi menjadi dua tahap. Kemudian ditutup dengan pengumuman lomba video kreatif kampanye anti kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan seksual. (fitrihr/spekham.org).
Lomba Video Kreatif Anti Kekerasan Seksual :
Juara 1 : Kelompok SMKN 4 Semarang.
Krisnawan Resi Syah Putra
Nurinda Delviana
Satria Aditama
Kresna Adetea
Ariq Rasyid Shiddiq
Wahyu Ismail
Video : https://www.youtube.com/watch?v=jP57e25-sh8
Juara 2 : Galih Setyawan N, S.Kom & Suryanto (Sukoharjo).
GnG Pictures.
Video : https://www.youtube.com/watch?v=Qd6Ds4K5fSY
Juara 3 : Nurlaila H (Semarang).
KOPRI (Korp. Perempuan PMII).
Juara 3 : https://www.youtube.com/watch?v=lhGXgD_PFz0
Favorit Viewer : Galih Setyawan N, S.Kom & Suryanto (Sukoharjo).
GnG Pictures.