KDRT Di Mata Perempuan Suroteleng

Bagi banyak orang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukanlah istilah yang baru, demikian pula bagi perempuan Desa Suroteleng, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Dalam Diskusi Komunitas Perempuan Suroteleng pada Senin (25/3). Saat Fajar Kristiarji fasilitator dari SPEK-HAM bertanya tentang KDRT, secara spontan mereka lantang menjawab Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Mereka lantas melihat bahwa penyebab terjadinya KDRT antara lain masalah ekonomi, perselingkuhan dan konflik dalam rumah tangga.

Tentang upaya pencegahan KDRT juga menjadi diskusi yang menarik di kegiatan ini. Sartini salah seorang warga Suroteleng menuturkan bahwa KDRT terjadi karena komunikasi dan relasi yang tidak baik di dalam keluarga. “Mestinya komunikasi di dalam keluarga harus baik saling menghargai dan menghormati serta tidak boleh ada yang melukai atau menyakiti,” ungkap Sartini.

Beberapa bentuk-bentuk kekerasan yang sering dijumpai, meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi. Perempuan Suroteleng bersepakat bahwa semua kekerasan tersebut menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan baik fisik maupun jiwa perempuan korban. Oleh karena itu informasi yang benar terkait dengan pencegahan dan penanganan KDRT secara benar sangat dibutuhkan.

Sementara itu, Fajar menyampaikan bahwa perlindungan bagi perempuan korban adalah penting untuk dilakukan. Persoalan KDRT adalah tanggung jawab semua elemen masyarakat. “Negara harus bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan bagi semua warga negaranya tanpa terkecuali,” ungkap Fajar. Dia menambahkan desa adalah Negara kecil yang wajib memberikan kontribusi dalam upaya perlindungan warganya. Selain itu lanjut dia, kita semua bisa melakukan penanganan bila terjadi KDRT, di antara dengan menyediakan waktu sebagai teman curhat bagi korban yang datang menemui kita dengan begitu beban korban menjadi berkurang.

Sebagai informasi, KDRT adalah tindakan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri maupun anak yang berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan hubungan sesuai yang termaktub dalam pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Selain itu, walaupun Undang-Undang ini dimaksudkan memberikan efek jera bagi pelaku KDRT, ancaman hukuman yang tidak mencantumkan hukuman minimal dan hanya hukuman maksimal sehingga berupa ancaman hukuman alternatif kurungan atau denda terasa terlalu ringan bila dibandingkan dengan dampak yang diterima korban. Bahkan lebih menguntungkan bila menggunakan ketentuan hukum sebagaimana yang diatur dalam KUHP.

Apalagi jika korban mengalami cacat fisik, psikis, atau bahkan korban meninggal. Sebagai UU yang memfokuskan pada proses penanganan hukum pidana dan penghukuman dari korban, untuk itu perlu upaya strategis di luar diri korban guna mendukung dan memberikan perlindungan bagi korban dalam rangka mengungkapkan kasus KDRT yang menimpa. Henrico Fajar (Divisi Kesehatan masyarakat SPEK-HAM)