Membingkai Permasalahan Buruh Migran Lewat Media Film

Ratusan orang menghadiri acara Pemutaran Film Dokumenter yang berjudul “Dispereert Niet” dan Diskusi Permasalahan Buruh Migran di Bale Tawang Praja, kompleks Balaikota Surakarta, jumat 7/8. Hadir sebagai narasumber dalam acara ini adalah Yasmine Soraya dan Ratna Saptari dari Indonesian Migrant Workers Union (IMWU), Agusdin Subiantoro (Deputi Bidang Penempatan BNP2TKI), Anjani (Staf Ahli Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi), dan Rangga Aditiawan (Pegiat Fim Dokumenter). Sementara itu sebagai moderator adalah Cak Mul dari Yayasan Sari Surakarta.

Dispereert Niet adalah sebuah film dokumenter yang berdurasi 1 jam 10 menit, menceritakan tentang kehidupan sehari-hari pekerja migran Indonesia di Belanda. Film ini merupakan karya dari seniman Irwan Ahmett, Tita Salina, dan Rangga Aditiawan. Irwan dan kawan-kawan mengangkat banyak isu pekerja migran Indonesia dalam film ini, diantaranya mengenai permasalahan seperti tempat kerja yang tak layak, upah tak dibayar, beban kerja yang berat, hubungan dengan majikan, penipuan yang dilakukan oleh agen dan lain-lain.

Kawan-kawan pekerja juga menghadapi permasalahan sosial dalam kehidupan sehai-hari, seperti dalam hidup berkeluarga, hidup dalam kekhawatiran akan penangkapan, sembunyi bila ada polisi, kehidupan sosial untuk berkumpul dengan kawan-kawan, olahraga dan rekreasi, isu transgender, kursus bahasa, masalah mengakses kesehatan ke rumah sakit, serta proses kepulangan. Semua tertangkap dan disajikan dalam film ini.

Acara ini juga menyajikan beberapa testimoni dari mantan buruh migran yang bekerja di luar negeri. Maryani misalnya, mengaku pernah bekerja di Belanda dan menjadi korban penipuan calo. Selama berada di Belanda, ia mendapatkan surat ijin tinggal dari Pemerintahan Belanda. “Saya bekerja di Belanda selama 3 bulan dan tidak mendapatkan upah, semua saya ikhlaskan,” ungkapnya. Selain itu ia juga mengaku pernah ditangkap Polisi dan akhirnya dipulangkan ke Indonesia.

Pengakuan lain disampaikan oleh Mufti asal Karanganyar yang pernah bekerja di Belanda. Ia mengatakan bahwa bekerja di negara Belanda memanglah tidak mudah karena harus beradaptasi dengan cuaca yang berbeda dengan Indonesia, dan minimal harus mengeluarkan uang sejumlah 250 Euro per bulan untuk bayar kos-kosan, saya bertahan hanya 1,5 bulan saja. “Mending kerja di Indonesia saja. Saya merasa kapok, tidak akan bekerja di sana lagi,” ungkapnya.

Mengawali diskusi, Agusdin Subiantoro, Deputi Bidang Penempatan BNP2TKI menyatakan bahwa sesuai dengan yang tertulis di Undang-Undang, negara yang tak boleh dijadikan sebagai tujuan TKI adalah suatu negara yang sedang mengalami kerusuhan dan tidak ada perlindungan TKI di Negara tersebut. Agusdin melanjutkan, Pemerintah Indonesia mempunyai kriteria dalam penempatan TKI, diantaranya memiliki tingkat proteksi optimal bagi para pekerja di negara tujuan, dan yang berangkat adalah mereka yang merupakan TKI yang formal dan profesional yang bekerja pada perusahaan dan berbadan hukum berdasar Undang-Undang.

Sementara itu untuk pekerja non-formal, Agusdin menyatakan sangat tergantung dengan Undang-Undang yang berlaku negara setempat. “Persoalannya, untuk keamanan pekerjanya harus dipastikan dimana kerjanya, kepada siapa, dan haknya apa saja. Jika sudah maka harus dituangkan dalam Perjanjian Kerja atau PK yang biasanya dilakukan antara TKI dengan perusahaan yang berbadan hokum,” jelasnya. Selain itu pekerja yang baik harus memiliki kemampuan tertentu seperti keahlian, kemampuan bahasa, psikis, mental, dan mempunyai uang saku untuk perjalanan berangkat ke negara tujuan. Apabila terjadi sesuatu yang tak sesuai maka bisa dilaporkan ke BNP2 TKI.go.id. Nanti akan kami tindaklanjuti dan kita beri sanksi.

Pada bagian lain, Rangga, salah seorang yang terlibat dalam pembuatan film Dispereert Niet menyampaikan bahwa film ini dibuat berdasarkan penemuan kasus-kasus yang dialami para pekerja buruh migran oleh rekan-rekan yang tergabung dalam IMWU, seperti buruh yang tidak diberi gaji, buruh yang dikejar-kejar polisi karena illegal, hingga tidak adanya perlindungan bagi pekerja buruh di sana.

Sementara itu Yasmine Soraya, seorang buruh migrant dari IMWU, mengaku sengaja membuat film ini karena ingin menunjukkan kepada dunia tentang kondisi Belanda yang tak seindah seperti yang dibayangkan. “Saya mendapat dukungan dari rekan-rekan buruh migrant, bukan hanya IMWU di Belanda tetapi juga banyak negera termasuk IMWU Hongkong,” jelasnya. Yasmine menambahkan, ada beberapa perkumpulan yang berkaitan dengan pekerja di Belanda. Mereka mengadakan pertemuan di tiap kota, seperti di Den Hag, Amsterdam, dan Roterdam. Mereka mendengungkan “Mari Bersatu” dan bersolidaritas antar sesama buruh migran.

Ratna Saptari dari IMWU menyampaikan tentang kebijakan Pemerintah Belanda tentang buruh migrant yang menurutnya sangat berbeda bila dibandingkan dengan tahun 1980-1990an yang dipengaruhi oleh kesepakatan politik Uni-Eropa. Maka di tahun-tahun berikutnya, Pemerintah Belanda mempunyai kebijakan sendiri mengenai buruh mingran. “Agak sulit dalam mengurai persoalan buruh migran termasuk buruh migran illegal, keberadaannya tidak bisa dihilangkan. Baru-baru ini ada 20 orang pekerja migran yang ditahan polisi, 7 antaranya orang Indonesia,” ungkap Ratna. Ratna menambahkan bahwa polisi lokal masih sering melakukan penggrebekan dan mengambil barang-barang pribadi milik pekerja migran.

Narasumber lainnya, Anjani, yang merupakan staf ahli Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memaparkan bahwa masih banyak pendatang di Belanda yang tak memiliki dokumen. Mereka bekerja di sana, agar bisa pulang, mereka mengirimkan uang sebesar 1000 Euro ke Indonesia. “Sebenarnya kami lebih mendorong untuk menciptakan wirausahawan. Beberapa waktu yang lalu, bersama BNP2TKI mengundang beberapa organisasi, instansi pengusaha, dan mitra industri untuk membuat suatu kegiatan yang bisa saling mendukung,” urai Anjani. Ia menambahkan, program bersama tersebut untuk mendukung industri dengan melibatkan wirausaha yang sudah memiliki usaha dan mengajak warga di sekitar untuk bisa turut berusaha.

Sementara itu Endang Listiani dari SPEK-HAM menyampaikan tentang pentingnya negara hadir dalam setiap permasalahan yang dihadapi buruh migran. “Ketika menyaksikan bagaimana buruh migran mengalami perlakuan yang tidak baik maka itu menjadi PR bagi Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan,” terangnya. Lebih lanjut Ia menyatakan bahwa selama ini permintaan pekerja luar negeri dipandang cocok dilakukan oleh perempuan, hal ini mengakibatkan kerentanan terhadap perempuan semakin tinggi, sebagian besar mereka berada pada usia produktif dan bekerja pada sektor domestik. “Pekerja migran perempuan rentan mendapatkan perlakuan tidak baik, seperti kekerasan, diskriminasi, upah tidak layak, minim perlindungan, tidak adanya perlindungan sosial dan sebagainya,” terang Eliest, sapaan Endang Listiani.

Mengawali sesi tanya jawab, Harno, aktifis buruh, menyampaikan tanggapannya tentang masalah buruh migran. Menurutnya persoalan buruh migran terjadi pada saat proses perekrutan hingga pemberangkatan. “Masalah-masalah buruh migran sudah berlangsung lama, tapi kenapa ya selalu dibiarkan tidak ada upaya-upaya perbaikan? Menurut saya, tanpa menonton film ini sebenarnya masalah buruh itu selalu sama saja,” ungkapnya.

Dia juga menyatakan bahwa Polisi sudah terlalu banyak menangani permasalahan. “Ada beberapa kawan di Jogja menanyakan ke kami, mereka sering keluar masuk lembaga pelatihan yang tak memiliki kapasitas mengirim TKI ke luar negeri, dan anehnya lembaga-lembaga itu bekerjasama dengan Kemenakertrans. Sejauh mana perlindungan yang diberikan negara ini, misalnya dari BNP2TKI, kalau ada pelanggaran di luar negeri bagaimana?” ungkapnya bertanya.

Seorang peserta lainnya, Takdir dari NTT, menyampaikan kenapa TKI banyak mendapatkan penyiksaan? Padahal mereka direkomendasi oleh Negara, tapi sampai di luar negeri mendapat perlakuan yang tidak baik. Pada bagian lain saya juga mengkritik, kenapa ya orang-orang yang bekerja di luar negeri tanpa dokumen hanya sebagai buruh? Padahal di Indonesia banyak pekerjaan seperti itu, jadi kenapa juga harus ke luar negeri?

Indra dari LPMK Kelurahan Jebres angkat bicara soal film tersebut. Ia menyatakan bahwa segala sesuatu yang illegal pasti akan menimbulkan berbagi permasalahan. Untuk itu saya menghimbau supaya disiapkan tenaga ahli profesional dan yang berkemampuan untuk diberangkatkan ke luar negeri. “Selama ini motivasi TKI bekerja di luar negeri karena motivasi mendapatkan uang yang lebih tanpa pernah melihat kemampuan dan kelengkapan administrasinya,” ungkapnya.

Agusdin Subiantoro dalam tanggapannya mengiyakan pendapat Takdir. Ia menyatakan bahwa banyak warga NTT yang menjadi korban trafiking, mereka banyak bekerja di sektor perkebunan. Kemudian permasalahan legal dan illegal menjadi suatu masalah sendiri, sebagai contoh di Malaysia sekarang ada sekitar 2 juta orang TKI, sehingga apabila melakukan pendampingan maka BNP2TKI harus menyediakan ratusan orang yang ditempatkan di sana. “Bekerja di Malaysia tidak perlu visa, hanya menggunakan paspor yang masih berlaku. Ketika masa berlaku paspornya habis, mereka tidak memperpanjang paspornya maka karena merasa keenakan sehingga bablas menjadi TKI illegal,” terangnya.

Anjani dalam tanggapannya menyatakan perlunya political will dari berbagai pihak untuk berperan aktif dalam memperkuat jaringan di masyarakat di tingkat bawah, baik di dalam negeri maupun luar negeri. “Jadi yang perlu dikerjakan bukan hanya advokasi hak, namun juga peningkatan ekonomi dan pengembangan potensi local,” ungkapnya. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa saat ini yang sedang dikembangkan BNP2TKI adalah melakukan koordinasi lintas sektoral.

Sementara itu Ratna menyatakan pentingnya memperkuat jaringan yang sudah ada untuk bekerjasama dan membantu pada buruh migran di luar negeri. “Penting dipahami bahwa buruh legal dan illegal wajib mendapatkan perlindungan di manapun mereka berada,” terang dia. Pada bagian akhir diskusi, Endang listiani meminta kepada negara untuk bisa menyiapkan pekerja migran yang memenuhi syarat dan melakukan perlindungan di luar negeri secara terintegrasi.

Acara pemutaran film dan diskusi ini terselenggara atas kerjasama dari beberapa NGO yang peduli pada permasalahan buruh migran, terutama perempuan dan anak, yaitu IMWU, MIGRANT CARE, JALA PRT, JARINGAN BURUH MIGRAN, SARI dan SPEK-HAM. Peserta terdiri dari Dinas Pemerintahan, Akademisi, Sekolah-Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan, Ormas Kemahasiswaan, NGO, Kelompok Buruh Migran dan Media Massa. (Henrico Fajar Kristiarji W – CO Divisi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat/spekham.org)