Menjadi pendamping kasus adalah sebuah tantangan bagiku

Sudah  dua tahun lebih aku menjadi pendamping perempuan korban kekerasan berbasis gender. Selama menjadi pendamping banyak pengalaman yang kudapatkan. Pengalaman yang baik, menyenangkan dan juga menyedihkan. Aku senang saat ada penyintas yang mau bercerita denganku, karena dengan begitu berarti penyintas percaya denganku. Mereka tidak berani cerita dengan orang – orang terdekat mereka seperti saudara atau orang tua. Mereka tidak mau membebani masalah mereka pada keluarga.  Saat bercerita banyak penyintas yang menangis sangat pilu, merasa menjadi orang yang paling menderita dan sangat terpuruk. Di saat seperti itu yang bisa aku lakukan hanya menjadi pendengar yang baik, memberikan motivasi ataupun penguatan/support pada mereka.

Ada cerita menarik saat aku mendampingi penyintas untuk sidang perceraian di Pengadilan Agama. Aku pernah diteror oleh keluarga suami penyintas. Bukan saja diteror tetapi aku juga dimarah – marahi oleh suami penyintas. Saat bertemu di tempat parkir aku masih di maki – maki dan diomeli oleh suami penyintas. Aku hanya menyampaikan kalau aku hanya sebagai teman saja tetapi tetap saja aku dimarahi oleh suami korban.  

Bermacam-macam cerita penyintas yang aku terima. Kadang ada cerita sedih dan aku ikut merasakan kesedihan jika cerita bahagia yang disampaikan aku pun ikut bahagia. Satu yang selalu saya ingat, menjadi pendamping tidak boleh terbawa perasaan dan selalu mengingat dalam hati untuk selalu kuat dan optimis untuk memandang masa depan. Motivasi itu juga yang kemudian aku sampaikan pada penyintas untuk tetap bersemangat dan menata masa depan yang lebih baik.  (Cerita: Atik Wahyuni, Narasi: Fitri Haryani email fitrijunanto@yahoo.com or fitrijunanto@gmail.com)