Perencanaan Anggaran Responsif Gender
- 15
- Jun
Solo-Jateng. Puluhan warga Boyolali dan Klaten mengikuti Workshop Perencanaan Anggaran Responsif Gender di Hotel Fave Solo, 8-10 Juni 2015. Mereka merupakan perwakilan dari SKPD (Satuan Kerja Pemerintahan Daerah) Boyolali maupun Klaten, yang terdiri dari Bappeda, DPPKAD, Dinsosnakertrans, Bapermasdes, BP3AKB, PPKB, P2TP2A, BPD Desa Sawahan, BPD Desa Musuk, BPD dan Kepala Desa Kuncen. Hadir pula perwakilan komunitas Desa Sawahan, Musuk, Kuncen dan Pacing.
Selama 3 hari partisipan mengikuti kegiatan ini. Mereka nampak antusias dan bersemangat untuk berperan aktif menyukseskan acara ini. Workshop ini menghadirkan narasumber Agnes dari Bappeda Boyolali dan 2 orang Fasilitator, yaitu Zakiah dari IDEA Yogyakarta dan Endang Listiani dari SPEK-HAM Surakarta.
Hari pertama, Endang Listiani mengajak partisipan untuk membangun persepsi bersama untuk membentuk layanan berbasis komunitas, “Kita harus melakukan rencana aksi konkret dengan komitmen dan dukungan anggaran, mengindentifikasi peluang-peluang yang ada yang bisa dimanfaatkan dan diperjuangkan. Rencana aksi yang diharapakan adalah adanya anggaran responsif gender,” ungkap Elist menerangkan.
Sementara itu dalam pemaparannya, Agnes menyampaikan tentang pentingnya analisis gender dalam perencanaan pembangunan di desa. Dia menambahkan, adanya Inpres No. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender, yaitu untuk mengutamakan kesetaran gender pada perencanan pembangunan. “Bicara gender itu bukan hanya bicara masalah perempuan saja, tetapi juga bicara laki-laki dan kaum difabel,” ungkap Ibu berkacamata itu.
Mahadi, warga Musuk menyampaikan kekecewaannya tentang Musrenbangdes yang hanya sekedar ajang formalitas saja, pada kenyataannya banyak usulan program tidak teralisasi dengan baik. “Saya tahu persis kalau pendekatannya partisipatif tidak akan terealisasi, berbeda kalau pendekatannya politis dengan anggota dewan pasti bisa terlaksananya,” ungkapnya kecewa.
Hal senada disampaikan oleh Sujianto, ketua BPD Kuncen. Dia mengamini apa yang disampaikan Muhadi. Menurutnya, perencanaan di desa hanya tinggal perencanaan saja, sesudah sampai di Kecamatan usulan hilang begitu saja. “Mungkin perwakilan kita di tingkat Kecamatan tidak memihak kita. Menurut saya, PNPM malah jauh lebih baik, jadi program yang baik harus dilanjutkan,” ungkapnya.
Agnes dalam tanggapannya menolak pendapat Mahadi dan Sujianto. Dia menyatakan bahwa UU Desa mengamanatkan partisipasi masyarakat dalam Musrenbangdes yang bukan hanya sekedar formalitas saja. ”Justru kalau tidak ada partisipasi masyarakat dalam perencanaan akan menjadi masalah, karena pengawasan yang dilakukan oleh BPK dimulai dari tahap perencanaan,” urai Agnes.
Di hari kedua, Zakiah, fasilitator dari IDEA Yogyakarta, menyampaikan bahwa beberapa pembangunan dewasa ini bisa mengakibatkan meningkatnya kesenjangan gender, mengurangi kesenjangan gender dan menghambat kesenjangan gender. Dia menambahkan beberapa contoh pembangunan yang mengakibatkan peningkatan kesenjangan gender, misalnya program KB yang selama ini hanya mengajak kaum perempuan untuk menjadi akseptornya, dan pembangunan jalan tol yang malah menimbulkan permasalahan baru seperti pembegalan.
Sementara itu pembangunan yang mengurangi kesenjangan gender, contohnya adalah pelatihan-pelatihan untuk sadar gender bagi masyarakat, kloset duduk, posyandu balita dan lansia, rumah aman untuk korban kekerasan. Pembangunan yang menghambat kesenjangan gender, contohnya iklan rokok di papan-papan reklame.
Rudi salah seorang peserta dari Desa Sawahan menyatakan pembangunan tol di wilayahnya memang cukup memprihatinkan dan menimbulkan masalah baru yaitu kemacetan, dan pada malam hari sering digunakan sebagai tempat pacaran kaum muda-mudi, “Biasanya, malam hari mereka berpasang-pasangan melakukan kegiatan yang tidak terpuji, ungkap perempuan yang juga menjadi guru PAUD itu.
Pada bagian lainnya, Zakiah mengajak partisipan untuk melihat data kasus kekerasan di masing-masing Kabupaten. Dewonggo, perwakilan dari P2TP2A Klaten menyampaikan di Klaten pada tahun 2014, kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 85 kasus, KDRT 54 kasus. Untuk kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 43 kasus. Sedangkan Dinuk dari BP3AKB menyatakan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Kabupaten Boyolali tahun 2014 adalah 77 kasus, untuk KDRT sejumlah 26 kasus.
Setelah mengetahui angka kasus kekerasan, diharapkan muncul program-program untuk mengurangi jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di masing-masing Kabupaten tersebut. “Pemerintah harus mempunyai program-program yang bersifat solutif dan berperspektif gender untuk masyarakat,” ungkap Zakiah.
Pada hari ketiga, Endang Listiani mengajak Pemerintahan Boyolali dan Klaten, Desa Sawahan, Musuk, Kuncen dan Pacing untuk membuat rencana aksi yang konkret bagi program-program yang sudah ada maupun yang baru terencanakan. “Diharapkan dengan program-program mengutamakan pengarustamaan gender, perempuan korban bisa terlindungi dan terberdayakan dengan layanan berbasis komunitas yang di tiap-tiap Kabupaten,” ungkap Elist, panggilan akrab Endang Listiani.
Anik dari Dinsosnakertrans Boyolali menyampaikan bahwa di Boyolali sudah ada P2TP2A yang rencananya tahun 2015 akan didirikan di selurah Kecamatan. “Kami rajin melakukan roadshow di beberapa kecamatan. Rencananya, untuk penanganan korban kita tempatkan di shelter atau rumah aman,” ungkapnya. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa upaya pencegahan melalui P2TP2A harus dimaksimalkan.
Sementara itu Sri Pudji Astuti dari Dinsosnakertrans Klaten menyatakan pentingnya melindungi penyandang disabilitas, membekali mereka dengan pendidikan formal hingga mereka memperoleh pekerjaan. “Kami mengajak masyarakat desa untuk membuat program Rehabilitasi Berswadaya Masyarakat (RBM), nanti bisa kami bantu sosialisasinya,” ungkap perempuan paruh baya itu. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa saat ini pihaknya juga merencanakan program pelatihan paralegal bagi masyarakat. Dengan kegiatan semacam ini diharapkan masyarakat mampu menangani setiap permasalahan kekerasan dilingkungan terdekat.
Kristiana, Kepala Desa Kuncen menyatakan dalam waktu dekat akan melakukan musyawarah desa untuk membahas RPJMDES dan memasukkan program-program yang berkaitan dengan perlindungan dan pemberdayaan perempuan. “Kami akan memaksimalkan kelompok-kelompok perempuan yang sudah ada. Selain itu kami juga akan mendirikan Forum Peduli Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak,” ungkap Kepala Desa yang baru menjabat 2 tahun itu. Langkah yang dilakukan oleh Desa Kuncen tersebut rupanya juga diikuti oleh wilayah desa lain seperti Desa Musuk, Sawahan dan Pacing. (Henrico Fajar-CO Divisi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat SPEK-HAM Surakarta)