Workshop Media : Perlu Upaya Terus Sosialisasikan Pengada Layanan Bagi Perempuan Korban

Nila Ayu Puspa sedang berbicara saat workshop media

Berlatar belakang untuk melakukan publikasi atas persoalan mendasar terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan pentingnya pembelajaran bagi masyarakat secara luas, maka SPEK-HAM menyelenggarakan workshop media bertema ; “Korban Bersuara, Data Berbiacara, Meretas Asa Keadilan Bagi Korban Berbasis Gender,” dengan mengundang 17 wartawan media cetak dan daring di Hotel Grand HAP, Rabu (15/5). Workshop diikuti tak hanya oleh para wartawan tetapi juga staf internal SPEK-HAM dan tiga orang perempuan penyintas.

Kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan jumlah serta modus yang beragam. Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) 2018, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), diketahui 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama 2018, naik 14% dari tahun sebelumnya sebanyak 348.466.

Sementara itu kasus kekerasan di Jawa Tengah pada tahun 2018 berjumlah 2.503 kasus, dengan kekerasan Seksual sebanyak 940 kasus. Untuk usia korban yang mengalami kekerasan, paling tinggi di usia 13-17 tahun dengan jumlah 732 orang, disusul peringkat kedua usia 25-44 tahun sejumlah 723 orang dengan rentang usia remaja dan usia produktif.

Sedangkan data kasus yang ditangani oleh Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) pada tahun 2018 terjadi peningkatan dari data sebelumnya sebanyak 66% mejadi 58 pengaduan. Meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan setiap tahun dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya semakin beraninya korban kekerasan terhadap perempuan untuk bersuara dan mengakses informasi yang disediakan oleh media menyangkut kekerasan terhadap perempuan.

Berdasarkan pekerjaan, sebagian besar dialami oleh perempuan Ibu Rumah Tangga (IRT), pekerja swasta, wiraswasta, PSN. Juga terjadi pada perempuan tidak bekerja. Perempuan-perempuan yang bekerjapun juga rentan mengalami KDRT. Sebagian besar korban tidak mengetahui bahwa pemerintah memberikan pelayanan/pendampingan kasus. Korban lebih banyak mendapatkan layanan dari lembaga layanan non pemerintah. Dari 58 kasus yang terlaporkan_ tetapi sebenarnya masih banyak kasus-kasus yang tidak terlaporkan_ bisa karena ketidaktauan informasi akses layanan ataupun memang tidak mau melapor karena dirasa masih tabu/malu/dst.

Langgeng, wartawan Suara Merdeka menyatakan bahwa saat ini media modelnya kejar target berita sampai 10 berita per hari sehingga agak sulit berdikusi dengan wartawan. Dulu saat dirinya masih bergabung dengan NGO seperti ATMA, YAPHI, Gita Pertiwi masih bisa mengajak wartawadan berdikusi sampai malam. “Beda dengan saat ini yang kejar target, setiap pagi saja mereka sudah mikir hari ini saya harus angkat berita terkait apa. Sebenarnya wartawan yang hadir saat ini harusnya wartawan yang sesuai dengan isu yang diangkat, tidak hanya sekedar menghadiri undangan yang diterima. Kebetulan hari ini kebanyakan sesuai isu ya dan semoga ke depan ada celah-celah sehinga bersinergi,”terang Langgeng.

Langgeng berharap SPEK-HAM bersinergi dengan media dan media sosial sehingga advokasi terus berjalan dan pesan-pesan yang disampaikan oleh para korban tersampaikan. Sedangkan Rosi, dari RRI Surakarta mengingatkan bahwa penting untuk mengangkat pemberitaan-pemberitaan terkait akses layanan bagi korban, termasuk bagaimana kemudian hal ini bisa memberikan pemahaman sensitivitas bagi aparat hukum.

Fitri Haryani sedang memaparkan data-data kekerasan perempuan yang ditangani oleh SPEK-HAM

Nila Ayu Puspa Ningrum, dari SPEK-HAM melihat bahwa terkait media, ada kemajuan di tahun 2005 – 2006 dengan pemberitaan yang tidak boleh menyebutkan identitas, alamat lengkap dan tidak menggunakan bahasa-bahasa yang menyudutkan, meski masih saja ada dua tiga media yang masih meloloskan. Menyambut harapan dari kawan media, SPEK-HAM bersedia untuk bersinergi dan siap untuk memberikan data bila diperlukan. “Media bisa menyajikan berita secara utuh, sebuah kasus ada yang butuh diviralkan sehingga mendapatkan dukungan dari masyarakat. Seperti kasus pelecehan seksual Agni di UGM yang sudah ada penyelesaian secara kekeluargaan tetapi kasus secara hukum masih tetap jalan, karena ini untuk membingkai perspektif masyarakat,”terang Nila.

Sedangkan Henrico Fajar, staf SPEK-HAM menyoroti bagaimana media memberitahukan kasus tenaga kerja yang mengalami kekerasan, setelah viral kemudian mendukung munculnya dukungan/aksi untuk pemenuhan keadilan untuk korban. Ia menambahkan meski media saat ini ada di dua sisi, industri dan idealisme, adanya target pemberitaan, sehingga idealisme menjadi tantangan. Hal ini memunculkan berita yang disampaikan menjadi dangkal tidak terkupas tuntas. “Berita baru muncul di permukaan tetapi sudah muncul kesimpulan-kesimpulan yang memunculkan kegaduhan. Teman-teman media yang menyampaikan kekerasan yang dialami korban. Setiap orang akan melihat kasus tersebut dari sudut yang berbeda-beda. Peran media sangat penting, harus melihat kasus secara utuh. Dilihat dari kriminalitasnya, hanya ada pelaku dan korban tanpa melihat sisi-sisi kemanusiaan. Sehingga media bisa memberitakan dari sisi kemanusiaan.Kode etik jurnalistik harus netral, tetapi ketika ada ketidakadilan, boleh wartawan berpihak pada korban.” terang Fajar.  

Usulan menarik datang dari Endang Listiyani atau biasa dipanggil Eliest. Ia berharap wartawan tetap menyuarakan terkait perlindungan pada perempuan dan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada perempuan. “Media memperluas akses informasi terkait keberadaan layanan baik yang dilakukan oleh NGO ataupun pemerintah serta bagaimana media memberitakan terkait sisi humanis, memberikan edukasi ke masyarakat misalnya mengangkat cerita perjuangan penyintas sehingga ia bisa menginspirasi, sebagai bentuk kebangkitan perempuan sebagai survivor tangguh yang pernah mengalami kekerasan.  .

Workshop yang dimoderatori Elizabeth Yulianti Raharjo ditutup oleh Rahayu Purwaningsih, Direktur SPEK-HAM dengan memberikan statemen-statemen bahwa pihaknya siap untuk bersinergi dengan media dan penyedia layanan, melanjutkan apa yang sudah ada misalnya siaran bersama Radio Immanuel, membuka wacana juga untuk siaran radio di Gapura Pasar Klewer dan media lainnya serta menjalin kerja sama yang lebih humanis, meskipun saat ini bekerja di dunia industri. “Perlu kita kembangkan lagi bagaimana memberi akses informasi seluas-luasnya untuk masyarakat, ke mana mereka harus melapor ketika mendapat atau melihat perilaku kekerasan,” pungkas Rahayu Purwaningsih. (red)