Diskusi SPEK-HAM Refleksi 20 Tahun Penegakan HAM Perempuan di Indonesia

20 tahun lalu SPEK-HAM berdiri dengan latar belakang banyak terjadi kasus kekerasan pada perempuan terutama perempuan etnis Tionghoa. Lalu SPEK-HAM bekerja untuk penanggulangan HIV-AIDS dengan berbagai programnya. Karena HIV-AIDS, kesehatan terkait dengan isu kekerasan terhadap perempuan. Perempuan-perempuanyang terjangkiti HIV-AIDS, perempuan-perempuan yang mengalami persoalan kesehatan reproduksi yang secara tidak langsung mengalami kekerasan. Demikian paparan Rahayu Purwaningsih saat menjadi narasumber media gathering refleksi 20 tahun penegakan HAM perempuan di Indonesia, di Rumah Makan ‘Mbak Yun”, Senin (10/12).

SPEK-HAM juga bekerja pada isu pemberdayaan ekonomi, mengusahakan perempuan mendapatkan pendampingan dan pemberdayaan secara ekonomi agar pulih, sejahtera. “Karena perempuan yang berdaya secara ekonomi lebih kecil kemungkinannya untuk jadi korban kekerasan. Karena ia memiliki kesempatan untuk berdiskusi dengan pasangannya, memiliki ruang untuk dirinya sendiri,”jelas Rahayu Purwaningsih.

SPEK-HAM juga telah melakukan upaya advokasi secara intensif agar terbentuk lembaga pengada layanan berbasis komunitas dengan harapan agar masyarakat korban kekerasa, terutama yang terdapat di pelosok-pelosok yang tidak terjangkau oleh LSM, tertangani oleh lembaga berbasis komunitas tersebut dengan bentuk mediasi, pendampingan dan sebagainya.

Kurangnya sosialisasi dengan baik atas payung hukum seperti undang-undang dan Perda di daerah serta aturan lainnya menjadi fakta ketika media masih memberitakan kasus-kasus terkait terjadinya kekerasan. Saat ini SPEK-HAM berjejaring dengan NGO se-Jawa tengah sedang menyoroti terkait pekerja rumahan, karen perusahaan yang memperkerjakan mereka seringkali abai dengan pemenuhan hak-hak mereka. Pekerja rumahan ini kebanyakan perempuan yang sering tersembunyi dengan dalih “hitung-hitung cari penghasilan tambahan”, yang ternyata mereka diperkerjakan yang berat dengan upah sedikit serta tidak memiliki jaminan-jaminan sebagaimana pekerja yang bekerja di pabrik/perusahaan seperti jaminan ketenagakerjaan dan kesehatan.

Alokasi anggaran untuk perempuan juga rendah, terbukti saat penanganan kasus, tidak semua kota/kabupaten secara khusus memiliki anggaran khusus karena kadang-kadang anggaran untuk visum tidak ada. “Pernah terjadi kami ditelepon oleh pihak RSUD Moewardi yang tidak bisa melakukan visum karena tidak memiliki anggaran. Anggaran pada Dana Desa misalnya, dari yang bernilai hingga 2 milyar, namun yang memiliki anggaran untuk pemberdayaan perempuan hanya berapa puluh juta saja,”imbuh Rahayu Purwaningsih.

SPEK-HAM selama tahun 2018 menangani 53 kasus kekerasaan, dari berbagai macam kasus kekerasan : psikologi, ekonomi, fisik, dan seksual. Ini hanya data yang ada di Solo saja, sedangkan yang melaporkan kepada jaringan belum terhitung. Tigginya angka perempuan terinveksi HIV-AIDS membuat miris yakni 12.000 kasus, kemudian BPJS tidak mengkaver kesehatan reproduksi kalau ada gejala penyakit, misaalnya perempuan yang ingin mendeteksi dini kalau ada penyakit di dalam tubuhnya, tidak bisa. “Harus ada keluhan dulu, misal kanker payudara itu harus ada benjolan dulu baru dicek. Dan itu saya kira ada yang salah dengan sistemnya. Perempuan harus menunggu sakit, baru ia bisa dirawat. Sudah terlambat,”pungkas Rahayu Purwaningsih. (AP)