Pendidikan Seksualitas Komprehensif Cegah Pernikahan Anak
- 03
- Dec
Pertemuan Karang Taruna Dusun Suroteleng Wetan, Desa Suroteleng, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali kembali di gelar pada kamis malam, 28/11 bertempat di rumah Nurwati Choiriyah. Pertemuan kali mendiskusikan tentang seksualitas, masa pubertas dan berbagai permasalahan remaja lainnya.
Banyak cerita menarik yang disampaikan remaja terkait pengalaman menstruasi dan mimpi basah untuk pertama kali. Mereka tampak antusias mendiskusikan topik yang dibahas kali ini. Faiza salah seorang anggota Karang Taruna mengungkapkan pengalaman menstruasi pertama kali pada waktu itu merasa sakit perut, pusing, takut dan bingung. “Selain sakit perut dan pusing, biasanya emosinya tidak stabil serta mudah marah,’ ungkap Faiza. Dia menambahkan orang tua terutama ibu menjadi teman curhat yang memberikan solusi dan rasa nyaman.
Sementara itu Khamid Widodo menuturkan pengalaman mimpi basah pertama kali saat usia 15 tahun, saat itu dia merasa campur aduk di sisi lain merasa senang namun di sisi yang lain merasa bingung bahkan sempat dikira hanya ngompol biasa. “Saya merasa senang, tapi juga bingung harus bagaimana menyikapi pengalaman baru ini dan biasanya teman-teman di sekolah pada waktu itu juga sering ngobrolin hal ini,” ungkap Khamid.
Fajar K. Wibowo dari SPEK-HAM yang hadir dalam kegiatan ini, mengajak anggota karangtaruna agar dapat membedakan seks dan seksulitas. Seks adalah jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sedangkan seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, yaitu dimensi biologis, sosial, psikologis, dan budaya. Dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin.
Dimensi psikologis erat kaitannya dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual, identitas peran atau jenis, serta bagaimana dinamika aspek-aspek psikologis (kognisi, emosi, motivasi, perilaku) terhadap seksualitas itu sendiri. Dimensi sosial, seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia dan pengaruh lingkungan dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku seksual. Dimensi kultural menunjukkan perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat.
Dengan paham informasi ini diharapkan laki-laki dan perempuan dapat saling menghormati dan menghargai, “Kalau remaja dipahamkan tentang apa itu seks, seksualitas dan pemahaman masa pubertas maka harapannya remaja bisa menjaga diri, tahu batas-batasan dalam berelasi”, ungkap Fajar. Dia menambahkan kasus-kasus kekerasan seksual terjadi bermula dari ketidakpahaman akan pendidikan seksualitas, misalnya resiko atau dampak hubungan seksual sebelum menikah yang tidak dipahami.
Data dari KUA Kecamatan Selo menyebutkan angka pernikahan anak pada tahun 2017 ada 5 kasus, 2018 ada 4 dan tahun 2019 sampai Agustus ada 2 kasus. Ikhsannudin salah seorang pegawai di KUA Kecamatan Selo, menjelaskan pernikahan usia anak di Kecamatan Selo terjadi bukan karena hamil duluan, tetapi memang budaya setempat yang membolehkan usia 16 tahun atau anak tamat SMP atau SMA untuk menikah.
“Jadi berbeda di tempat lain, menikah dini hampir selalu disebabkan adanya kehamilan yang tidak diinginkan”, ungkap Ikhsan. Walaupun angka pernikahan dini mengalami penurunan namun pihaknya mengaku tetap prihatin dan berharap agar di tahun-tahun mendatang tidak ada lagi pernikahan dini. Henrico Divisi Kesmas SPEK-HAM