DATA DAN ANALISA : PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN TAHUN 2014

Gambaran Umum

         Selama kurang lebih 16 tahun, yakni sejak tahun 1999, SPEK-HAM Surakarta telah melakukan penanganan kasus kekerasan gender terhadap perempuan dan anak di Solo Raya. Terhitung sejak Januari sampai dengan  November 2014 ini, SPEK-HAM telah menerima dan menangani 36 kasus kekerasan. Sebagai gambaran pengaduan dan penanganan kasus yang dilakukan SPEK-HAM dapat dilihat dari data tahun 2010 s/d 2014 sebagai berikut:

Tabel1

         Dari data diatas menunjukkan bahwa jumlah kasus yang ditangan SPEK-HAM dalam kurun waktu lima (5) tahun ini mengalami fluktuasi namun lebih cenderung meningkat. Secara khusus pada tahun 2014 ini terlihat mengalami peningkatan sebesar 17% kasus yang ditangani dibandingkan tahun 2013. Kasus kekerasan terhadap perempuan seperti fenomena gunung es hanya nampak permukaan saja, apalagi kasus kekerasan seksual. Selama ini masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang belum terlaporkan karena beranggapan sesuatu yang tabu jika di ketahui orang lain. Stigma di masyarakat juga cenderung masih menyalahkan korban karena dianggap perempuan penggoda dan memakai pakaian yang minim. Hal tersebut juga terus mencuat, terlebih ketika dilakukan dialog interaktif melalui radio juga bahwa perilaku berpakaian perempuan kerap disalahkan sebagai pengundang terjadinya kekerasan maupun pelecehan.

 Bentuk dan Jenis Kekerasan

         Secara umum dalam penanganan kasus, SPEK-HAM berupaya membagi dalam 5 bentuk yang kemudian didalamnya terdapat beberapa jenis kekerasan yang secara spesifik dialami oleh korban. Berdasarkan bentuk dan jenis kekerasan yang dialami, maka penanganan kasus yang dilakukan SPEK-HAM adalah sebagai berikut:Grafik1

         Dari grafik dapat terlihat bahwa hingga November 2014 bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga(KDRT) masih mendominasi yakni 26 kasus (72% ). Sedangkan  Pencabulan ada 5 kasus (14%),  Kekerasan Dalam Pacaran 3 kasus ( 8%),  dan Perkosaan 2 kasus (6%).  Kasus KDRT yang ditangani juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan yakni 27% dibandingakn dengan penanganan serupa di tahun 2013. Peningkatan ini menunjukkan bahwa sudah semakin banyak kasus yang dilaporkan dan semakin kuat juga pernyataan bahwa kasus KDRT bukan lagi sekedar persoalan pribadi.

Tren  dan Kecenderungan Kasus

           Kasus KDRT yang  SPEK-HAM tangani biasanya bersifat ganda, mengalami satu bentuk kekerasan disertai dengan bentuk kekerasan lainnya seperti sudah mengalami kekerasan fisik kemudian di telantarkan dan  di tinggal nikah siri.  Bentuk dan jenis  dari 26 kasus KDRT terdiri dari kekerasan fisik  31%, kekerasan  psikologis 35% dan penelantaran ekonomi  34%.

          Dari data pengaduan dan penanganan dari bulan Januari hingga November  2014,  bentuk kekerasan yang kedua yang mendominasi adalah kekerasan seksual ada 29%. Kekerasan seksual ini berupa perkosaan, pencabulan dan pelecehan. Angka kekerasan seksual inipun mengalami penigkatan dari tahun sebelumnya dan menunjukan kasus kekerasan seksual mesti menjadi perhatian keseluruhannya.

Karakteristik  Pelaku dan Korban

          Berdasarkan data, karakteristik pelaku dan korban dapat dilihat berdasarkan rentang usia. Berikut data usia  korban dan pelaku :

Tabel2

            Di lihat dari data karakteristik pelaku dan korban di atas kekerasan terjadi banyak pada usia produktif antara usia 25-40 tahun yang dapat dilihat bahwa korban pada rentang usia ini mencapai 17 orang atau sebesar 47%. Namun demikian dari data tersebut juga dapat dicatat bahwa kekerasan dapat terjadi pada hampir seluruh rentang usia, bahkan dalam rentang umur 6-12 tahun kami mencatat adanya satu korban berusia 6 tahun yang mengalami kekerasan seksual.  Yang perlu dicatat juga bahwa rentang usia pelaku terdapat pelaku yang berusai dibawah 18 tahun atau usia anak.

Data tingkat pendidikan korban dan pelaku:

Grafik2

           Dari data terlihat bahwa pelaku dan korban kekerasan bukan hanya pada tingkat pendidikan rendah saja tetapi juga bisa terjadi pada jenjang pendidikan tinggi. Data pelaku berdasarkan tingkat pendidikan yang memiliki pendidikan tingkat lanjutan atas maupun perguruan tinggi mencapai 58%. Pelaku yang tidak teridentifikasi tingkat pendidikanya juga cukup banyak ada 12 pelaku, sedangkan untuk korban dan pelaku yang paling banyak di jenjang pendidikan SLTA. Dari karakteristik tingkat pendidikan dan usia bisa dilihat,  kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi pada usia berapa saja  dan tingkat pendidikan yang beragam juga.

Data profesi korban dan pelaku:

Tabel3

          Dilihat dari jenis profesi  atau pekerjaan, dapat dilihat bahwa korban sebagian besar bekerja sebagai karyawan swasta (39%) dan ibu rumah tangga atau tidak bekerja (33%). Hal ini menunjukkan bahwa kerentanan terhadap kekerasan terhadap perempuan yang memiliki pekerjaan di ranah publik juga cukup tinggi bukan hanya pada IRT yang bekerja di ranah privat atau di rumah.

            Dari data diatas juga dapat dilihat bahwa kekeraan yang dilakukan oleh pelaku yang memiliki pekerjaan maupun posisi yang dianggap baik oleh masyarakat juga mengalami penigkatan. Hal ini terlihat dari adanya kasus yang dilakukan oleh tokoh masyarakat, TNI/Polri, PNS dan guru yang mencapai 5 kasus. Dari 5 kasus yang terjadi tersebut perlu dicatat bahwa seluruhnya merupakan bentuk kekerasan seksual diantaranya pencabulan dan perkosaan. Yang perlu mendapat perhatian dalam kasus-kasus yang melibatkan pejabat publik maupun tokoh di masyarakat ini proses hukum yang dijalanai cenderung terhambat atau tidak ditangani secara cepat oleh institusi penegak hukum. Penegakan hukum bahkan terlihat tidak berpihak pada korban atau kalaupun sampai pada tahap pengadilan hanya memperoleh vonis hukuman yang ringan. Kondisi realitas penegakan hukum tersebut tentunya telah kembali menempatkan korban menjadi korban untuk kedua kalinya. Terdapat banyak hambatan bagi perempuan korban kekerasan seksual  untuk mendapatkan hak-haknya melalui mekanisme hukum pidana.

Tantangan dalam penanganan maupun pemulihan:

  • Kasus kekerasan dalam rumah tangga terutama kasus kekerasan seksual dianggap bukan sebuah tindak kekerasan. Ketika kasus dilaporkan ke kepolisian maka upaya yang dilakukan adalah damai. Asumsi di institusi kepolisian merasa kekerasan seksual tidak bisa terjadi di dalam rumah tangga.
  • Masih terdapat hukuman yang ringan bagi kasus percobaan perkosaan dengan alasan kurangnya bukti dan hanya kekerasan fisik saja yang diproses dengan pemberian  hukuman 7 bulan. Kekerasan fisik saja yang dianggap memiliki cukup  bukti tetapi percobaan untuk perkosaan yang mengakibatkan trauma pada korban belum di lihat. Hal ini tentunya tidak memberi efek jera bagi pelaku dan tidak ada keadilan bagi korban Kasus ini terjadi di wilayah Boyolali.
  • Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pejabat publik atau tokoh masyarakat masih belum secara cepat ditangani pihak kepolisian. Bahkan pihak kepolisian atau penegak hukum memiliki pandangan yang semakin menyudutkan atau mencari kesalahan korban kekerasan seksual.

(Divisi PPKBM-2014/spekham.org)