Feminisme Untuk Pendampingan Korban
- 29
- Sep
Sebagai upaya untuk membangun dan memperkuat pemahaman tentang penanganan kasus berperspektif feminis, HAM dan gender bagi para pendamping komunitas dan korban, SPEK-HAM yang didukung oleh program MAMPU mengadakan kegiatan pelatihan Feminisme, Gender dan HAM bagi pendamping pada 2 – 4 September 2015 di Hotel HAP D’Wangsa Solo.
Pelatihan ini menghadirkan fasilitator tunggal, Dra. A. Nunuk Prasetya Marniati, MA dari Yogyakarta. Dengan melibatkan peserta sebanyak 30 orang yang terdiri dari pendamping komunitas Sewu, Kuncen, Sawahan, Musuk, Kemlayan, dan Pacing. Sementara hadir pula perwakilan dari Forum Paralegal Soloraya, pendamping P2TP2A se-Soloraya, LSM yang konsen pada pendampingan korban di Solo dan Boyolali.
Ibu Nunuk, sapaan akrab Nunuk Prasetya Marniati, pada hari pertama mengajak peserta untuk melakukan analisis personal yang prinsip-prinsipnya adalah relaks dan tidak memaksa kehendak. “Teman-teman santai saja, tetapi sampai pada tujuan. Kita harus mengenal siapa diri kita dan bagaimana perjalanan hidup kita masing-masing”, ungkap bu Nunuk. Masing-masing peserta diminta untuk membuat uraian perjalanan hidupnya dalam bentuk gambar, cerita atau yang lainnya.
Bu Nunuk mengingatkan pentingnya kita menghargai proses untuk menghargai pendapat orang lain. Bukan hanya persoalan salah atau benar, hitam atau putih, tetapi yang abu-abu pun bisa dianggap benar. Menurutnya, hidup dan perilaku adalah akibat dari sebab, oleh karena itu penting untuk memahami apa itu perspektif gender, plural dan marjinalisasi perempuan.
Mengawali kegiatan hari kedua, fasilitator mengajak peserta untuk melakukan terapi pemulihan agar beban-beban yang ada dalam diri masing-masing peserta yang juga merupakan pendamping tersebut mengalami pemulihan. Lebih lanjut, fasilitator mengungkapkan tentang pentingya nilai-nilai feminisme, diantaranya realitas yang netral, realitas menghargai proses, meliputi: sabar, menghargai, empati dan mau mendengarkan. Berikutnya adalah berbasis pada perempuan, mengenal relasi pribadi dan berbasis pada kearifan lokal.
Sementara itu Feminisme mengandung arti ideologi atau falsafah hidup yang berbasis pada pengalaman perempuan. “Feminisme merupakan perjuangan gerakan perempuan untuk merebut kembali kedaulatan pengetahuan dan kearifan perempuan yang hilang karena diabaikan dan tidak diakui oleh patriarkhi”, terang Bu Nunuk.
Masih dihari kedua. Fasilitator mengajak peserta untuk memperdalam analisa dengan melakukan studi kasus. Tujuannya adalah untuk melihat kekerasan apa saja yang dialami dalam sebuah cerita nyata yang dinarasikan yang berjudul “Surtinah Mati”. Malam harinya dilanjutkan dengan sesi penyadaran diri sebagai pelaku dan korban kekerasan.
Hari terakhir, Bu Nunuk menyampaikan materi tentang strategi pendampingan bagi kelompok atau komunitas yang dikenal dengan istilah TRIBINA, yaitu: pendidikan, penyadaran dan pendampingan. Dia menambahkan tentang prinsip-prinsip dasar pendampingan yang berpijak pada nilai kemanusiaan, pendidikan kritis melalui proses penyadaran dan menggunakan cara-cara aktif tanpa kekerasan. Pelatihan ini diakhiri dengan membuat komitmen bersama-sama, agar peserta mampu menjadi pendamping yang solutif dan memperdayakan korban. (Henrico Fajar K.W – CO Divisi PPKBM/spekham.org)